of Colorado, USA. His previous post is Head, Center for Research Data and Information at DPD Secretariat General as well as Deputy Director for Information of Spatial Planning and Land Use Management at Indonesian National Development Planning Agency (Bappenas). Beside working as Assistant Professor at Graduate School of Asia-Pacific Studies, Waseda University, Tokyo, Japan, he also active as Associate Professor at University of Darma Persada, Jakarta, Indonesia. He got various training around the globe, included the Training Seminar on Land Use and Management, Taiwan (2004); Developing Multimedia Applications for Managers, Kuala Lumpur, Malaysia (2003); Applied Policy Development Training, Vancouver, Canada (2002); Local Government Administration Training Course, Hiroshima, Japan (2001); and Regional Development and Planning Training Course, Sapporo, Japan (1999). He published more than five books regarding local autonomous. You can reach Dadang Solihin by email at [email protected] or by his mobile at +62812 932 2202
Perbandingan Indonesia Singapura, Malaysia dan Thailand Apakah Indonesia Negara "Monetaris“? Semakin Mengakar dan Semakin Canggihnya Sistem Keuangan Tarik-menarik antara Regulasi dan Pengendalian serta Liberalisasi dan Operasi Pasar Terbuka 4 dadang-solihin.blogspot.com
Indonesia tidak pernah berhasil menyamai tetangganya, yaitu Singapura, Malaysia dan Thailand, dalam menciptakan lingkungan yang secara konsisten memiliki inflasi yang rendah. 2. Indonesia tidak bisa disebut sebagai negara yang setia bersikap sebagai kaum "monetaris". 3. Semakin mengakar dan semakin canggihnya sistem keuangan. 4. Dalam perumusan kebijakan keuangan terdapat tarik-menarik antara regulasi dan pengendalian di satu sisi dan liberalisasi dan operasi pasar terbuka di sisi yang lain. 5. Indonesia disebut sebagai pengecualian terhadap proposisi yang diajukan dalam berbagai literatur tentang 'sequencing'
tidak pernah berhasil menyamai tetangganya, yaitu Singapura, Malaysia dan Thailand, dalam menciptakan lingkungan yang secara konsisten memiliki inflasi yang rendah. Khususnya selama periode boom ekonomi-yaitu seperti pada pertengahan dan akhir dekade 1970an dan pada akhir dekade 1980an, terjadi tekanan inflasi yang hebat. Meskipun begitu, prestasinya patut dipuji, jika dibanding dengan periode sebelum tahun 1966 dan masih lebih baik dibanding kebanyakan negara sedang berkembang. Jika terjadi tekanan inflasi, otoritas moneter cepat dalam melaksanakan pengendalian. Setelah tahun 1980, inflasi berhasil ditekan hingga di bawah 10 persen.
suatu prestasi yang tidak pernah terbayangkan pada dekade 1960an. Lebih jauh, pada saat ini pemerintah mampu untuk mengendalikan inflasi dengan teknik-teknik yang lebih baik. Selama dekade 1970an, pilihan kebijakan pengendalian inflasinya sangat terbatas karena konsistensinya mempertahankan tingkat kurs yang tetap. Karena itu pemerintah sulit untuk mensterilisasi dampak moneter dari limpahan pendapatan minyak bumi. Demikian pula, penggunaan prinsip anggaran belanja berimbang, hingga tingkat tertentu mengganggu kebijakan ekonomi makro selama periode ini, meskipun dalam prakteknya prinsip tersebut jarang dipatuhi.
adalah campur tangan langsung yang sangat berlebihan terhadap perbankan, khususnya pertumbuhan kredit komersial mereka. Sejak awal dekade 1980an terjadi pergeseran secara bertahap, yaitu dari yang bersifat pengendalian secara langsung menjadi pengendalian menggunakan alat-alat yang tidak langsung. Meskipun pergeseran ini masih dalam proses, pada saat ini Indonesia jauh lebih siap untuk menghadapi gejolak eksternal yang tiba-tiba muncul dan lebih mampu untuk mempertahankan lingkungan yang memiliki inflasi yang rendah dan terkendali.
disebut sebagai negara yang setia bersikap sebagai kaum "monetaris". Cap yang kurang baik ini kadang-kadang dilontarkan oleh penentang pemerintah Orde Baru, yang menganggapnya sebagai pemerintah yang hanya berusaha menekan inflasi tanpa memperhatikan dampak ekonomi dan sosialnya. Meskipun pengendalian inflasi merupakan prioritas yang penting pada akhir dekade 1960an, dan selama periode ini terjadi banyak proses dislokasi, apa yang terjadi setelah ini hanya sedikit mendukung kritik tersebut. Pertumbuhan kembali terjadi dengan cepat, sehingga biaya sosial akibat terjadinya dislokasi hanya ditanggung dalam periode yang singkat. Ciri-ciri penting dari pemerintah ini tidak cukup untuk disebut monetaris: Pengetatan keuangan sering diterapkan, inflasi seringkali mencapai tingkat dua digit pada dekade 1980an dan pertumbuhan uang beredar sifatnya sangat tidak tetap.
tetap. Terdapat hubungan yang lemah antara tingkat pertumbuhan kredit dengan aktivitas ekonomi Tingkat pertumbuhan kredit secara riil menunjukkan gerakan yang bergejolak sejak pertengahan dekade 1970an, sangat kontras dengan pertumbuhan GDP yang lebih merata. Dampak dari usaha periodik pemerintah untuk mengendalikan inflasi jelas terlihat, pada pertengahan dekade 1970an, pada tahun 1979- 1980 (keduanya pada tingkat harga minyak internasional yang tinggi), 1983, 1987 (dalam dua tahun tersebut karena adanya devaluasi yang besar) dan pada tahun 1992. Pertumbuhan kredit yang sangat pesat, yang terjadi seiring dengan liberalisasi keuangan pada tahun 1988 juga sangat jelas terlihat. Maka sekali lagi, gambaran ini sangat jauh dari ciri kaum "monetaris".
Berkaitan dengan transformasi struktural yang cepat, semakin mengakar dan semakin canggihnya sistem keuangan. Indonesia secara khusus memiliki struktur keuangan yang terkebelakang pada pertengahan dekade 1960an, terutama dalam hal ukuran relatif agregat moneter konvensional dan dalam hal pilihan layanan keuangan yang tersedia. Pengendalian inflasi pada akhir dekade 1960an berhasil mengembalikan kepercayaan kepada mata uang dan terhadap proses restocking moneter.
cepat sejak akhir dekade 1960an, kemudian bersifat stabil selama masa pengetatan keuangan pada dekade 1970an, dan kemudian mulai meningkat kembali akibat reformasi ekonomi pada dekade 1980an. Pilihan layanan keuangan yang jauh lebih banyak mulai tersedia, khususnya akibat reformasi pada dekade 1980an. Sektor keuangan Indonesia secara relatif lebih terbelakang dibanding dengan tetangganya yang lebih maju, yaitu Malaysia, Singapura dan Thailand. Kapitalisasi pasar modalnya hanya merupakan bagian yang sangat kecil dibanding negara-negara ini (bahkan juga lebih kecil dari Filipina), sementara broad money base yang dimilikinya juga berkembang dengan lebih lambat. Sektor keuangan Indonesia sedang mengejar ketertinggalan ini, dan kelihatannya akan terus dikembangkan pada dekade 1990an.
Operasi Pasar Terbuka Dalam perumusan kebijakan keuangan terdapat tarik-menarik antara regulasi dan pengendalian di satu sisi dan liberalisasi dan operasi pasar terbuka di sisi yang lain. Pada dekade 1970an, pendekatan pengendalian lebih dominan dibanding dengan pendekatan liberalisasi dan operasi pasar terbuka. Pemerintah harus memberikan respon yang cepat terhadap gejolak eksternal minyak bumi. Karena hanya memiliki sedikit instrumen kebijakan moneter dan sedikit pengalaman praktis dalam menggunakan berbagai instrumen ini, pemerintah mungkin dapat dipahami dalam memilih jalur regulasi. Tetapi juga terdapat motif yang lain terhadap dipilihnya jalur regulasi, sementara berusaha mengendalikan ekspansi moneter, terdapat keinginan untuk mendaur ulang paling tidak sebagian dari pendapatan minyak yang baru diperoleh melalui sektor perbankan, kepada nasabah-nasabah pilihan, khususnya petani beras, perusahaan milik negara dan usaha pribumi.
tidak mampu mempertahankan subsidi kredit yang sangat besar dan terdapat semakin banyak kekhawatiran bahwa subsidi sering salah sasaran dan tidak memiliki efek pembangunan yang diharapkan. Selain memotong subsidi, otoritas moneter mulai mengurangi pengendalian langsung dan lebih mengandalkan instrumen kebijakan yang berorientasi pasar. Meskipun terdapat kesulitan akibat memburuknya terms of trade secara drastis sepanjang pertengahan dekade 1980an, proses reformasi tetap berlangsung dengan lambat. Dua paket reformasi besar selama dekade tersebut terpisah oleh jarak waktu lima tahun. Proses reformasi mengalami kemunduran dengan adanya dua Gebrakan Sumarlin, yaitu campur tangan pemerintah yang luar biasa besarnya dalam sektor keuangan. Meskipun dua kebijakan ini berhasil mencegah pelarian modal ke luar negeri, kebijakan ini bertentangan dengan filosofi deregulasi keuangan yang diumumkan oleh pemerintah. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa jalan menuju liberasi keuangan adalah jalan yang panjang dan berliku-liku.
kita mengamati faktor penentu perubahan base money. Faktor penentu ini dibagi ke dalam perubahan yang disebabkan oleh tiga faktor: transaksi fiskal oleh pemerintah, transaksi neraca pembayaran oleh bank sentral dan transaksi lainnya oleh bank sentral, yang kebanyakan dilakukan dengan sektor swasta dan agen pemerintah tertentu. Terdapat ketidakstabilan yang besar dalam ketiga deret data ini, dan data untuk tahun 1975 tidak ditampilkan karena terdapatnya ketidakjelasan akibat kekacauan yang ditimbulkan Pertamina. Meskipun begitu, terdapat beberapa hal penting yang bisa diamati. Pertama, neraca pembayaran secara rata-rata adalah penyumbang terbesar terhadap ekspansi base money, menyebabkan peningkatan rata-rata sebesar 25 persen untuk periode 1969 hingga 1991. Faktor ini secara khusus sangat penting selama periode kejayaan minyak btuni 1972-1980 dan kemudian juga baru- baru ini ketika neraca modal mengalami penguatan.
sebaliknya, yaitu menimbulkan kontraksi, rata-rata sebesar-12 persen. Hal ini tampak dengan jelas selama masa kejayaan minyak bumi. Sebaliknya, anggaran menyebabkan peningkatan base money selama masa resesi pada dekade 1980an. Praktek anggaran belanja berimbang pemerintah, dalam pengertian akuntansi, sangat besar berpengaruh terhadap munculnya kebijakan yang counter-cyclical. Namun demikian, sebagaimana yang akan kita lihat pada bab berikutnya, hal tersebut tidak selalu berlaku. Ketiga, transaksi lainnya biasanya menimbulkan dampak yang positif terhadap base money, yaitu menimbulkan kenaikan rata- rata sebesar 10 persen, dan tidak memiliki pola fluktuasi yang jelas." Karena itu, gambaran ini mendukung analisis yang sebelum ini tentang penyebab langsung inflasi selama masa Orde Baru. Kebanyakan inflasi dalam periode ini, faktor penentunya adalah neraca pembayaran, dan ketidakmampuan pemerintah untuk mensterilisasi dampak moneter dari neraca pembayaran. Sebaliknya, kebijakan fiskal sangat tidak signifikan pengaruhnya.
berbagai literatur tentang 'sequencing' Indonesia disebut sebagai pengecualian terhadap proposisi yang diajukan dalam berbagai literatur tentang 'sequencing‘ Menurut aliran pemikiran ini, dalam proses liberalisasi, neraca modal harus yang paling akhir dibebaskan atau dibuka, yaitu setelah pemulihan stabilitas keuangan dilakukan dan setelah pembukaan neraca transaksi berjalan (dengan kata lain, setelah liberalisasi perdagangan). Indonesia terkadang digunakan sebagai contoh terbalik karena neraca modal internasionalnya sudah terbuka sejak tahun 1970, sementara reformasi perdagangan baru menyusul sesudah satu dekade kemudian. Meskipun begitu, pengalaman Indonesia sesungguhnya tidak menggagalkan prinsip-prinsip yang ada dalam literatur sequencing.
bisa dikendalikan dan defisit fiskal nilainya tidak terlalu besar. Keadaan ini terus bertahan dan hanya sedikit terdapat pengecualian. Sistem perdagangan juga cukup terbuka pada akhir dekade 1960an, dan pembatasan kuantitas sangat terbatas penggunaannya. Bahkan sesungguhnya proteksi impor lebih rendah dari yang diumumkan oleh pemerintah, disebabkan oleh letak Indonesia yang dekat dengan zona perdagangan bebas Singapura. Penyelundupan, baik secara teknis maupun fisik, ketika itu (dan hingga saat ini) terjadi secara luas di Indonesia. Hanya selama dekade 1970an dan pada awal dekade 1980an terjadi peningkatan dalam proteksi perdagangan.
modal terlalu dini, dalam arti bahwa pembukaan tersebut dilakukan terlalu berdekatan dengan diterapkannya pengendalian inflasi, yaitu ketika stabilisasi yang baru saja berhasil dicapai masih lemah sifatnya. Meskipun begitu, pembuat kebijakan telah belajar dari pengalaman pahit sebelum tahun 1966, bahwa neraca modal yang terbuka harus menjadi sandaran yang utama dalam membuat berbagai kebijakan. Pengendalian neraca modal menimbulkan korupsi dan keterasingan, khususnya bagi eksportir yang berdomisili di pulau-pulau yang jauh dari Jawa. Perbatasan internasional sangat rentan terhadap lalu-lintas barang sebagaimana juga rentan terhadap lalu-lintas modal, dengan mempertimbangkan Singapura sebagai tetangga dekat Indonesia. Mungkin yang paling penting adalah bahwa para pembuat kebijakan ini mengetahui bahwa neraca modal yang terbuka akan memaksa pemerintah untuk bersikap disiplin, dan khususnya sebagai pengendali terhadap dilakukannya kebijakan moneter dan fiskal yang bersifat populis.