Upgrade to Pro — share decks privately, control downloads, hide ads and more …

Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan Kemerdekaa...

Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan Kemerdekaan Indonesia

17 Agustus 2015-2018 Konstitusi kita dibuka dengan kalimat: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

More Decks by Universitas Darma Persada 2015-2018

Other Decks in Education

Transcript

  1. Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia 17

    Agustus 2015 Assalamualaikum Wr Wb MERDEKA MERDEKA MERDEKA Para peserta upacara, sivitas academica Universitas Darma Persada yang saya cintai. Konstitusi kita dibuka dengan kalimat: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pada hari ini, kita semua bukan hanya sekedar memperingati, namun juga mensyukuri rakhmat dan karunia yang diberikan oleh Alloh SWT dan hasil perjuangan para pahlawan bangsa yang telah berhasil merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Apabila dibandingkan dengan pengorbanan yang telah diberikan oleh para pahlawan bangsa, tugas kita sesungguhnya lebih ringan, yaitu mengisi kemerdekaan ini dengan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun demikian, sebagaimana yang disampaikan oleh anggota DPR RI Bapak KH. Khoirul Muna saat penutupan Sidang Paripurna MPR pada tanggal 14 Agustus 2015, beliau mengatakan, memasuki usia Republik Indonesia yang ke 70 tahun ini rakyat Indonesia menghadapi beragam ujian berat, mulai dari alam yang kurang bersahabat, kekeringan di mana- mana, harga kebutuhan pokok yang masih melangit, ekonomi yang belum pulih, hingga penegakan hukum yang mencederai rasa keadilan rakyat. Di sisi lain, segelintir penguasa masih acuh tak acuh, tak peduli kesengsaraan rakyat, sehingga rakyat semakin berang, jengkel dan galau, karena para penguasa itu tidak memberikan suri tauladan. Saat ini, bangsa Indonesia sangat memerlukan kekuatan lahir dan batin untuk tabah dan tegar dalam menghadapi cobaan, serta rasa optimisme bahwa cepat atau lambat Indonesia akan semakin jaya, adil dan makmur, aman dan sentosa. Bangsa Indonesia memerlukan pemimpin yang selalu amanah dan bertanggungjawab atas segala tugas yang diembannya. Pemimpin yang pada setiap hembusan tarikan nafasnya hanya memikirkan dan memperjuangkan nasib rakyat yang sangat letih menghadapi kesulitan hidup kesehariannya. Bukan pemimpin yang hanya menebar berita bohong, janji- janji palsu, dan harapan-harapan kosong, karena sesungguhnya tidaklah elok mereka memanipulasi dan menipu rakyat yang menderita, sengsara dan hampir putus asa.
  2. Para founding fathers, para pendiri bangsa ini, yang telah berjuang

    menyabung nyawa mengusir penjajah dan memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, akan menangis menyaksikan keadaan bangsa Indonesia seperti saat ini. MERDEKA MERDEKA MERDEKA Para peserta upacara, sivitas academica Universitas Darma Persada yang saya cintai. Undang-undang no. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengamanatkan bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta BERANI MEMBELA KEBENARAN UNTUK KEPENTINGAN BANGSA. Berkaitan dengan peran pendidikan tinggi dalam pembangunan bangsa, serta kondisi bangsa dan rakyat Indonesia yang sangat mempihatinkan saat ini, seluruh sivitas academica Universitas Darma Persada sudah sepantasnya untuk menyatakan siap, dan berdiri pada posisi paling depan untuk menyelamatkan nasib bangsa ini. Universitas Darma Persada dengan visinya “Menjadi Universitas terkemuka di Indonesia dengan keunggulan dalam aspek Budaya yang diperkaya dengan Monozukuri yang memberi kontribusi berarti bagi pembangunan Bangsa dan Negara” segera mengimplementasikan Tri Darma Perguruan Tinggi untuk mencegah bangsa Indonesia terpecah belah dan saling memusuhi, karena tanpa disadari telah menjadi alat segelintir manusia yang tidak ingin melihat bangsa ini bersatu padu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, berkonstitusi UUD 1945, hidup rukun dan memiliki rasa toleransi serta mampu memaafkan sesamanya dilingkungan Bhinneka Tunggal Ika. Universitas Darma Persada harus bisa melahirkan pemimpin yang sejati, yang satu kata dan perbuatan. Pemimpin yang memiliki kepekaan dan kesholehan sosial, kewarasan pikiran dan kebeningan hati nurani. Bukan pemimpin yang tersesat melakukan korupsi, yang tercela, yang hina dan bergelimang dengan KKN, pemimpin yang mabuk kepayang, ria, takabur dan pamer kuasa. Demikian yang dapat saya sampaikan kepada sivitas academica Universitas Darma Persada yang saya cintai, semoga Unsada ke depan bisa menjadi lebih baik lagi, dan dapat memberikan darma baktinya bagi sebesar-besarnya kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Amiiiin YRA. MERDEKA MERDEKA MERDEKA Wabilahi taufik Walhidayah Wassalamualaikum Wr Wb
  3. Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia 17

    Agustus 2016 Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Selamat pagi, dan salam sejahtera untuk kita semua. MERDEKA Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan bagi kita semua, sehingga kita masih diberikan kesempatan untuk menghadiri acara peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-71. Tujuh puluh satu tahun Indonesia merdeka merupakan rahmat yang tak ternilai harganya dari Allah Yang Maha Kuasa. Dengan kemampuan yang kita miliki, Indonesia menapak di jalan yang telah dibangun oleh founding fathers Bangsa kita, untuk mewujudkan sebuah negara yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Tahun ini, Indonesia menapaki momentum perayaan 71 tahun kemerdekaannya. Sebuah periode yang tak pantas lagi untuk disebut muda. Ibarat manusia, usia kemerdekaan yang telah direguk negeri ini seharusnya telah memasuki fase yang matang. Tapi benarkah kehidupan negeri ini sudah menjadi bangsa yang matang secara ekonomi, politik, maupun sosial atau dalam istilah founding fathers negeri ini kita sering mendengarnya sebagai bangsa yang berdaulat? Inilah pertanyaan besar yang selalu mengiringi setiap kali perayaan 17 Agustus sepanjang periode negeri ini merdeka. Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan klasik semacam ini hanya sekedar melintas namun dalam perjalanan waktu kita justru lebih terlihat gamang dalam menemukan solusinya. Lantas, ketika negeri ini masih terjebak dalam kegamangan tak berujung untuk menemukan solusi, Indonesia sudah dihadapkan pada tantangan baru bernama globalisasi di kawasan ASEAN. Kita lebih mengenalnya dengan sebutan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Fase ini telah resmi bergulir sejak akhir Desember 2015. Di sini, persaingan menjadi lebih terbuka. Rasanya, hanya Sumber Daya Manusia kompetitif saja yang kelak bisa survive untuk menjadikan negaranya sebagai bangsa yang unggul dan berdaulat. Pertanyaan berikutnya pun datang; mampukah Indonesia menjadi bangsa unggul dan berdaulat di tengah persaingan bebas antarnegara kawasan di ASEAN? Tanpa hendak bersikap pemistis, negeri ini sesungguhnya masih harus berjuang keras untuk menjadi bangsa berdaulat sebagaimana yang pernah dicita-citakan Presiden Indonesia pertama, Bung Karno. Merujuk survei Prosperity Index 2015, yang di dalamnya memuat peringkat kemakmuran, lembaga penelitian Legatum Institute dari Inggris, posisi Indonesia ternyata masih jauh di belakang Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Dalam survei itu kriteria penilaian meliputi tingkat ekonomi,
  4. kewirausahaan, kesehatan, pendidikan, dan pendapatan rata- rata per kapita. Lalu

    berkaca kepada survei Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau The Education for All Development Index yang dilakukan UNESCO, posisi Indonesia terlihat sangat miris. Survei itu menempatkan Indonesia hampir menempati tempat terendah terhadap kualitas pendidikan di negara- negara berkembang di Asia-Pasifik. Indonesia berada di peringkat ke-10 dari 14 negara. Kemudian saat melihat tingkat pendapatan nasional yang dicerminkan melalui Gross Domestic Product, posisi Indonesia ternyata tertinggal sangat jauh dengan negeri jiran Malaysia maupun Singapura. Padahal, kedua negara tersebut memiliki usia kemerdekaan lebih muda dibandingkan Indonesia. Malaysia baru menyatakan diri merdeka dari Inggris pada 31 Agustus 1957 dan Singapura pada 9 Agustus 1965. Tapi jika membuka lembaran fakta ekonomi, GDP Singapura dan Malaysia ternyata sudah jauh meninggalkan Indonesia. Data Bank Dunia yang dirilis pada 2016, menempatkan Singapura sebagai negara kaya kesembilan dengan GDP sebesar US$ 55.182. Lalu Malaysia berada di peringkat ke-66 (GDP senilai US$ 10.538). Sementara Indonesia, tercecer di peringkat 118 dengan GDP sebesar US$ 3.475. Peserta upacara yang saya hormati. MERDEKA Mengapa usia kemerdekaan Indonesia yang lebih lama dibandingkan Singapura maupun Malaysia itu tak mampu berjalan linear dengan perbaikan tingkat kehidupan penduduk dan bangsanya? Satu hal yang paling utama adalah bangsa ini sebenarnya tidak fokus dalam menata masa depannya. Bahkan menjadi sangat ironis, inisiasi menciptakan globalisasi itu justru berawal dari bumi Indonesia. Tepatnya, pada 1994 terlahir kesepakatan bernama Bogor Goals. Kesepakatan ini dirumuskan dalam pertemuan APEC yang dilakukan di Bogor. Bogor Goals itulah yang kemudian menciptakan dasar-dasar globalisasi pada masa kini. Sayangnya, inisiasi globalisasi yang ditandai di Bogor itu justru diabaikan para stakeholders di negeri ini. Seiring jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada 1997, Indonesia justru dibawa terlena ke dalam euforia demokrasi. Padahal pada periode yang sama, ide mencanangkan MEA itu telah digagas di Bangkok, Thailand. Untuk kali kesekian, bangsa ini justru lupa atau sengaja melupakan diri untuk segera mempersiapkan SDM yang siap berkompetisi secara global. Di saat negeri jiran sibuk mempersiapkan dan membenahi kualitas SDM mereka, kita justru meloncat lebih jauh dengan menyibukkan diri pada persiapan pemilihan presiden secara langsung pada 2004. Tanpa kita sadari, energi yang dikeluarkan untuk menata demokrasi itu ternyata sangat besar sehingga kita melupakan bagaimana membuat roadmap masa depan negeri. Ini dapat dilihat setelah tidak adanya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) selepas tumbangnya Orde Baru melalui peristiwa Reformasi 1998. Sedangkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) nasional justru baru dilahirkan pada 2007. Artinya, selama sembilan tahun, Indonesia sempat tidak memiliki gambaran masa depan. Sementara kita semua justru terlena ke dalam hiruk pikuk dan kegaduhan politik pragmatis yang menghiasi kontestasi demokrasi di negeri ini.
  5. Kegaduhan itu semakin berlanjut lagi ketika para menteri terpilih di

    pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) justru lebih gemar mengerjakan hal-hal di luar Rencana Strategis (Renstra) lima tahunan. Belum lama ini kita sempat dibuat gaduh dengan pemunculan wacana Full Day School. Kita sesungguhnya tak ingin larut dalam kegaduhan- kegaduhan semacam itu. Hanya satu hal mendasar saja yang ingin ditanyakan apakah wacana semacam itu sudah menjadi bagian dari renstra pemerintahan yang berkuasa saat ini? Andai wacana semacam itu bukan menjadi bagian dari renstra maka dapat terlihat betapa stakeholders negeri ini tidak memiliki fokus yang jelas untuk menata masa depan Indonesia menjadi bangsa berdaya saing tinggi. Peserta upacara yang saya hormati. MERDEKA Berbicara mengenai daya saing adalah berbicara mengenai kualitas SDM. Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Agustus 2015 hampir separuh (47,1%) tenaga kerja Indonesia adalah lulusan SD ke bawah. Bagaimana lulusan SD bisa bersaing di MEA? Masih bisa, kalau mereka memiliki sertifikasi kompetensi tenaga kerja. Dalam hal ini pemerintah jangan abai dan jangan terlambat, karena ini merupakan hal penting pada era globalisasi. Inilah sebuah tantangan yang masih menghadang bangsa ini pada saat usia kemerdekaannya memasuki perayaan ke-71 tahun. Kita boleh saja tersenyum bahagia karena tak lagi terjajah secara fisik seperti masa lalu. Tapi kita juga harus sadar diri bahwa bangsa ini sesungguhnya masih belum mampu menjadi bangsa yang berdaulat atas kemampuan dirinya sendiri. Rasanya sebuah penggalan pidato Bung Karno pada HUT Proklamasi 1963 masih terdengar pantas sebagai bahan refleski buat generasi masa kini dan generasi yang akan datang. ''Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.'' Peserta upacara yang saya hormati. MERDEKA Mari, sudah saatnya kita memfokuskan diri menghadapi persaingan global. Tak lupa juga, sudah saatnya bangsa ini memperbaiki mutu SDM jika ingin berkompetisi pada era MEA. Tanpa peningkatan mutu disertai penambahan dan asistensi untuk sertifikasi kompetensi tenaga kerja, rasanya ikhtiar mewujudkan kedaulatan bangsa seperti yang pernah didengungkan Bung Karno akan sangat sulit digapai. Salam dirgahayu Indonesia. Saatnya kita membuat perubahan. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin YRA. Selamat bekerja secara nyata dan gelorakan inovasi. Dirgahayu 71 tahun Indonesia Merdeka! Wabillahit taufiq walhidayah, Wassalamualaikum warahmatullaahi wabarakatuh.
  6. Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia 17

    Agustus 2017 Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Selamat pagi, dan salam sejahtera untuk kita semua. MERDEKA Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta ala yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan bagi kita semua, sehingga kita masih diberikan kesempatan untuk mengikuti acara peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-72. Peringatan hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72 adalah sebuah rentang waktu yang harusnya sudah cukup untuk mengantarkan negeri ini menjadi lebih baik. Tapi benarkah negeri ini sudah benar-benar menjadi lebih baik sebagaimana dicita-citakan para founding parent negeri ini? Sesungguhnya, pertanyaan kontemplatif semacam ini selalu saja berulang setiap kali Indonesia merayakan hari kemerdekaannya. Sayangnya, hingga 72 tahun perjalanan negeri ini merdeka, pertanyaan semacam itu selalu saja layak untuk disampaikan. Khusus perayaan kemerdekaan tahun ini yang mengusung tema besar "Indonesia Kerja Bersama" rasanya pantas untuk mempertanyakan perihal kebersamaan dan kerukunan yang ada di negeri berpopulasi 250 juta jiwa lebih ini. Dalam realitas sosial masyarakat perkotaan, kebersamaan menjadi kata yang terasa asing untuk diimplementasikan dalam keseharian pada masa kini. Fenomena yang muncul dari penduduk perkotaan adanya indikasi kebanggaan dengan identitas kehidupan individualisme ala Barat. Nilai-nilai luhur kebersamaan yang tercermin melalui semangat gotong- royong menjadi hal yang terasa langka. Kelangkaan nilai itu menjadi semakin kuat ketika kita hidup di lingkungan perumahan elite di kota-kota besar seperti Jakarta. Fakta yang kerap ditemukan adalah cukup banyak di antara para warga penghuni perumahan-perumahan elite itu yang hidup berdampingan tanpa pernah mengenal para tetangganya. Semuanya sudah dianggap sebagai kelaziman bagi masyarakat kota. Inilah tanda yang nyata atas terjadinya degradasi kebersamaan yang tengah menggerus identitas ke- Indonesia-an, khususnya di masyarakat perkotaan pada masa kini. Mengapa kebersamaan itu disebut sebagai identitas Indonesia? Jika menengok pada sila kelima di dalam Pancasila, sesungguhnya sudah ditegaskan bahwa bangsa ini tumbuh atas dasar kebersamaan dan gotong-royong. Lalu dalam skala yang lebih luas lagi, ancaman nilai kebersamaan ini dapat pula dilihat dari munculnya kesenjangan ekonomi yang begitu besar di negeri ini. Berdasarkan laporan Global Wealth Report pada 2016 yang dibuat oleh Credit Suisse’s, Indonesia tercatat sebagai negara peringkat keempat paling timpang di dunia. Dari data
  7. tersebut memperlihatkan bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai

    49,3 persen kekayaan nasional. Adanya ketimpangan ekonomi ini sesungguhnya menjadi masalah sangat serius untuk bisa membangun tumbuhnya kebersamaan di antara anak bangsa. Bagaimana mungkin kebersamaan itu akan bisa tumbuh jika penguasaan ekonomi negeri ini ternyata hanya dikuasai oleh segelintir orang saja? Pertanyaan pun mengemuka, mungkinkah keadilan bisa tercipta ketika ketimpangan itu semakin besar? Pesimisme semacam ini tentunya sangat berbahaya jika tidak bisa dikelola secara baik. Dan sesungguhnya, sinyal-sinyal semakin merapuhnya semangat kebersamaan akibat dari tingginya kesenjangan ekonomi ini sudah mulai tampak dalam beberapa waktu belakangan ini. Sentimen-sentimen rasial dan kesukuan yang mengarah pada dikotomi-dikotomi yang mengancam integrasi kehidupan berbangsa seakan menjadi isu yang paling mudah untuk diproduksi dalam merespons kesenjangan tersebut. Sentimen-sentimen rasial dan kesukuan itu kemudian semakin meluas setelah direproduksi secara masif lewat media sosial. Dikotomi pribumi versus non pribumi menjadi santapan paling bombastis untuk melemahkan kebersamaan di antara anak bangsa. Inilah bentuk kemunduran kehidupan berbangsa yang semakin hari semakin jelas terlihat di depan kita. Padahal jika membuka lembaran sejarah, keberagaman yang kemudian dibungkus menjadi slogan Bhineka Tunggal Ika itu, sesungguhnya menjadi salah satu pilar utama berdirinya Indonesia 72 tahun silam. MERDEKA Para peserta upacara, sivitas academica Universitas Darma Persada yang saya cintai. Di tengah ancaman untuk menggerogoti semangat kebersamaan antar anak bangsa di negeri ini maka sudah sewajarnya pemerintah dan masyarakat mengambil peran lebih nyata dalam menumbuhkan dan merawat kebersamaan. Sebagai pengelola negara, pemerintah sudah seharusnya mampu mendorong terciptanya pemerataan ekonomi. Ini menjadi hal yang wajib dilakukan jika ingin merawat kebersamaan itu tetap lestari di negeri ini. Sentralisasi pembangunan yang selama ini masih berorientasi pada konsep pembangunan Jawa sentris sudah seharusnya diselaraskan dengan semangat otonomi daerah. Untuk hal ini, regulasi-regulasi di daerah maupun pusat yang selama ini masih menghambat proses implementasi paket kebijakan ekonomi sudah seharusnya segera diinventarisasi dan dicarikan solusinya. Untuk pemerataan pembangunan tentunya tak lagi tepat jika hanya sekedar memunculkan wacana untuk memindahkan ibu kota ke luar Jakarta. Namun hal yang lebih utama adalah bagaimana dana dari pemerintah itu bisa melahirkan pemerataan pembangunan infrastruktur di daerah. Inilah yang menjadi kata kunci untuk dapat menstimulasi dan menggeliatkan aktifitas bisnis di daerah. Asumsinya ketika geliat bisnis di daerah itu semakin membaik maka daya pikat orang untuk tidak menuju Jakarta akan semakin berkurang.
  8. MERDEKA Para peserta upacara, sivitas academica Universitas Darma Persada yang

    saya cintai. Untuk mengimplementasikan Pancasila pada masa kini sangat diperlukan kearifan pemahaman yang bersifat kontekstual dan kekinian. Pancasila sudah saatnya untuk tidak lagi ditempatkan sebagai doktrin tanpa implementasi. Begitu juga, sudah sepatutnya untuk tidak membungkus jargon- jargon Pancasila itu sebagai alat politik jangka pendek saja. Pancasila sebagai way of life bangsa ini sudah sepatutnya ditempatkan sebagai landasan untuk menjawab tantangan zaman yang semakin berubah. Kita semua harus yakin dan percaya jika nilai-nilai yang terkandung di dalam butir sila kelima Pancasila yang kemudian dikontekstualkan dengan zaman serta diperkuat dengan adanya kesungguhan dari semua elemen bangsa untuk mengimplementasikannya ke dalam kehidupan bernegara dan berbangsa maka di sanalah kita dapat merawat kebersamaan untuk membawa Indonesia menjadi lebih maju. Demikian yang dapat saya sampaikan kepada sivitas academica Universitas Darma Persada yang saya cintai, kita semua yakin bahwa pada saat Indonesia sudah menginjak usia 72 tahun merdeka ini, kita semua ke depan bisa lebih siap untuk memulai perubahan cara pandang dan sikap. Amiiiin YRA. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Dirgahayu 72 tahun Indonesia. MERDEKA Wabilahi taufik Walhidayah Wassalamualaikum Wr Wb
  9. Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia 17

    Agustus 2018 Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Selamat pagi, dan salam sejahtera untuk kita semua. MERDEKA Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah subhanahu wataala yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan bagi kita semua, sehingga kita masih diberikan kesempatan untuk mengikuti acara peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-73. Selama rentang waktu tersebut, sudahkah negeri ini bergerak menuju cita-cita besar para founding parent yang menginginkan Indonesia sebagai bangsa besar sekaligus bangkit menghadapi tantangan zaman? Inilah pertanyaan refleksional yang akan terus menyertai perjalanan negeri yang kini sudah dipadati 265 juta jiwa penduduk atau telah tumbuh empat kali lipat dibanding jumlah penduduk pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945. Jika melihat komposisi penduduk serta kemajuan teknologi, tantangan yang dihadapi Indonesia pada masa lalu dan masa kini, tentunya sudah sangat berbeda jauh. Perbedaan itu pula yang membuat makna kemerdekaan bangsa ini menjadi sangat penting untuk dipertegas kehadirannya. Apalagi, sejak 2015 Indonesia sudah memasuki sistem perdagangan terbuka bernama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Semangat besar dari gagasan hadirnya MEA ini membentuk pasar tunggal dan menciptakan kondisi yang kompetitif antarnegara di kawasan Asia Tenggara. Inilah tantangan eksternal buat bangsa yang tak bisa lagi ditolak. Selain tantangan ekonomi yang borderless di kawasan Asia Tenggara, negeri ini juga masih menghadapi tantangan domestik yang tak kalah pelik. Salah satu yang utama adalah suksesi kepemimpinan nasional. Sebagaimana diketahui bersama bahwa periode duet kepemimpinan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sudah mendekati pengujung masa pemerintahannya. Pekan lalu, dua pasang calon presiden dan wakil presiden baru saja mengikrarkan diri untuk bersaing menjadi pemimpin Indonesia periode 2019-2024. Kontestasi politik ini tentu menjadi hal yang tak bisa diabaikan untuk membawa bangsa ini bergerak menuju kebangkitannya sebagai bangsa besar sebagaimana kejayaan di masa kerajaan-kerajaan yang telah membangun peradaban nusantara. Mampukah dalam lima tahun ke depan Indonesia bisa bangkit atau justru bangsa ini akan lenyap sebagaimana ramalan dalam novel Ghost Fleet yang menyebut Indonesia menghilang pada 2030. Sekali lagi inilah tantangan besar di saat negeri ini merayakan 73 tahun kemerdekaannya. Untuk mengurai tantangan
  10. tersebut, salah satu indikator yang dapat digunakan adalah nilai Indeks

    Pembangunan Manusia (IPM). Sebagaimana dijelaskan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), di dalam IPM ini ada tiga dimensi dasar yang diukur, yakni kesehatan, pendidikan, serta standar hidup layak. Merujuk data yang dirilis BPS tahun ini, pembangunan manusia di Indonesia dinilai terus mengalami kemajuan. Pada tahun 2017, IPM Indonesia mencapai 70,81. Angka ini meningkat sebesar 0,63 poin atau tumbuh sebesar 0,90 persen dibandingkan tahun 2016. Namun demikian, laporan World Bank yang dirilis pada awal tahun ini menyebutkan juga bahwa pertumbuhan ekonomi dalam satu dekade terakhir hanya menguntungkan 20 persen orang paling kaya di Indonesia saja. Artinya, kebanyakan orang Indonesia masih belum menikmati pertumbuhan ekonomi yang kerap dijadikan indikator keberhasilan pemerintah. Fenomena semacam itu sesungguhnya bukan hal asing yang terjadi di negeri ini maupun di sejumlah negara berkembang. Berkaca pada fenomena yang ada serta merujuk pada salah satu dimensi IPM, maka faktor pendidikan menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Premis besarnya adalah ketika kualitas pendidikan diperbaiki dan ditingkatkan mutunya maka diharapkan akan terjadi perbaikan IPM sekaligus menurunkan tingkat kesenjangan di negeri ini. MERDEKA Tapi, seperti apakah gambaran kualitas pendidikan Indonesia pada saat ini? Mengutip laporan CNN Indonesia (2018), kualitas pendidikan Indonesia menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC) berada di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia ternyata masih berada di bawah Vietnam. Lalu, laporan The World Economic Forum Swedia (2000) mengungkap Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Gambaran global itu tentunya menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi oleh pemimpin Indonesia ke depan. Artinya, siapapun yang kelak memimpin Indonesia, perbaikan mutu dan kualitas pendidikan harus diperjuangkan sekuat tenaga. Mengapa harus diperjuangkan? Karena hanya dengan pendidikan yang baik maka negeri ini akan bisa bersaing di era global yang telah bebas batas negara the state of borderless. Ketika negeri ini memiliki daya saing yang tinggi maka kemampuan untuk merespons tantangan, baik secara domestik maupun global, akan bisa dilakukan secara optimal. Lantas bagaimanakah cara untuk mendorong tumbuhnya daya saing negeri ini? Salah satu cara yang dapat dikembangkan adalah melahirkan kurikulum pendidikan yang bersifat responsif terhadap kemajuan zaman. Mindset kurikulum yang selama ini masih digunakan sudah seharusnya dikaji ulang. Kurikulum yang hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan substansial masyarakat sudah saatnya direvisi. Singkatnya, untuk mengarah pada mindset baru tersebut maka diperlukan adanya sejumlah perbaikan terhadap efektivitas, efisiensi, dan standarisasi pengajaran. Para
  11. pengajar, khususnya di lembaga pendidikan tinggi, sudah seharusnya mengembangkan model

    pengajaran yang mampu mengadopsi kemajuan teknologi untuk merangsang tumbuhnya kreatifitas para peserta didik. Harapannya, ujung dari perbaikan itu bisa melahirkan lulusan- lulusan yang kreatif sekaligus melek teknologi. Inilah yang menjadi kunci untuk menghadapi era disrupsi sekaligus persaingan global yang makin kompetitif di masa mendatang. MERDEKA Untuk melahirkan lulusan-lulusan yang kreatif sekaligus melek teknologi itu memang bukanlah pekerjaan mudah seperti membalikkan telapak tangan. Di sini perlu dilakukan usaha dan kerja keras yang tak boleh kenal lelah. Ikhtiar itu harus terus dilakukan dengan penuh kesadaran bersama bahwa negeri ini harus bisa bangkit dari segala ketertinggalannya. Percayalah, ketika pendidikan negeri ini bisa melahirkan para lulusan kreatif maka akan semakin memudahkan negeri ini menghadapi persaingan secara global. Di saat daya saing semakin kuat maka di sanalah akan tumbuh kemampuan negeri ini untuk bisa bangkit di atas kakinya sendiri. Untuk itulah, Indonesia butuh kerja secara bersama-sama untuk mewujudkan mimpi besar dari anugerah kemerdekaan ini. Tantangan domestik berupa pemilihan presiden harusnya jangan membuat negeri ini bergerak mundur akibat perbedaan pilihan politik. Seharusnya, adanya perbedaan- perbedaan itu, bisa membuat bangsa ini semakin kuat untuk menghadapi tantangan yang semakin sulit di masa depan. Inilah pilihan yang harusnya dilakukan jika Indonesia ingin bangkit. Kesadaran ini harusnya bisa didesiminasikan serta ditumbuhkan kepada generasi muda bangsa ini. Polemik politik domestik serta tantangan globalisasi adalah keniscayaan yang harusnya menguatkan negeri ini untuk menjadi bangsa yang kompetitif. Sekali lagi, inilah semangat kemerdekaan Indonesia di usianya yang telah menginjak 73 tahun. Dan, kita masih harus bekerja bersama-sama untuk mewujudkan anugerah kemerdekaan itu demi menghadirkan Indonesia yang di cita-citakan para pendiri negeri ini. Demikian yang dapat saya sampaikan kepada sivitas academica Universitas Darma Persada yang saya cintai, kita semua yakin bahwa pada saat Indonesia sudah menginjak usia 73 tahun merdeka ini, kita semua ke depan bisa lebih siap untuk memulai perubahan cara pandang dan sikap. Amiiiin YRA. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Dirgahayu 73 tahun Indonesia MERDEKA Wabilahi taufik Walhidayah Wassalamualaikum Wr Wb