Upgrade to Pro — share decks privately, control downloads, hide ads and more …

Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan Hari Lahir Pancasila

Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan Hari Lahir Pancasila

1 Juni 2017-2018 Alhamdulillah, di pagi hari ini kita dapat berkumpul bersama dalam upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila. Untuk itu saya ingin mengajak seluruh peserta upacara untuk membumikan Pancasila ke dalam kehidupan kita sehari-hari melalui budaya malu.

More Decks by Universitas Darma Persada 2015-2018

Other Decks in Education

Transcript

  1. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2017

    View Slide

  2. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2017
    Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh
    Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua.
    Alhamdulillah, di pagi hari ini kita dapat berkumpul bersama
    dalam upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila. Untuk itu saya
    ingin mengajak seluruh peserta upacara untuk membumikan
    Pancasila ke dalam kehidupan kita sehari-hari melalui budaya
    malu.
    Kabar tak sedap menyergap publik pada penghujung pekan
    ini. Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan
    Korupsi (KPK) kepada pejabat Kementerian Desa,
    Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT)
    serta auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
    memperlihatkan masih banyaknya 'para tikus' yang
    menggerogoti kesejahteraan bangsa di negeri ini. Jauh hari
    sebelumnya, kita dibuat mengelus dada saat mendengar
    kasus megakorupsi e-KTP telah melibatkan sejumlah pejabat
    tinggi negara.
    Tidak hanya kabar seputar korupsi saja yang mengoyak rasa
    kebangsaan anak negeri. Belum lama ini, kita juga mendengar
    kabar persoalan ancaman disintegrasi sebagai buntut dari
    kegaduhan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta.
    Jelas terdengar adanya keinginan atau ancaman dari
    sekelompok pihak di Papua dan Minahasa yang menyatakan
    diri ingin berpisah setelah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
    dinyatakan bersalah atas perkara penistaan agama.
    Sejalan dengan kegaduhan pilkada DKI tersebut, opini bangsa
    dibuat pula terbelah ke dalam dua kutub yang saling
    berhadap-hadapan. Lantas sebagai saudara sebangsa dan se-
    Tanah Air, kita dibenturkan dengan munculnya dikotomi
    terhadap makna Kebhinekaan, anti-NKRI (Negara Kesatuan
    Republik Indonesia) serta radikalisme. Bahkan terjadinya
    ledakan bom bunuh diri di Kampung Melayu pada
    pertengahan pekan kemarin menjadi tanda bahwa gerakan
    radikalisme masih menjadi ancaman serius buat Indonesia.
    Sesungguhnya, beragam persoalan yang telah muncul itu tak
    boleh dianggap remeh. Pemerintah sudah saatnya bersikap
    tegas namun tetap mengayomi. Pernyataan 'gebuk' yang
    disampaikan secara lisan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi)
    telah mengindikasikan keinginan pemerintah untuk bersikap
    tegas dalam mengatasi persoalan-persoalan kebangsaan yang
    sekarang bermunculan.
    Namun perlu diingat juga, pada masa keterbukaan seperti
    sekarang, mengejawantahkan kata 'gebuk' dari Presiden
    Jokowi itu tentunya tak bisa diartikan dengan membenarkan
    lahirnya tindakan-tindakan represif ala Orde Baru. Sebaliknya,
    kata 'gebuk' itu seharusnya bisa dimaknai sebagai bentuk
    refleksi diri kebangsaan. Bukankah persoalan korupsi,
    ancaman disintegrasi, dan radikalisme itu bisa diatasi jika
    seluruh anak negeri ini bersepakat untuk menanamkan ulang
    nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila yang dijadikan
    sebagai common platform dalam kehidupan bernegara?

    View Slide

  3. Di sinilah tantangan besarnya. Pendekatan yang sekarang ini
    dimunculkan untuk merevitalisasi Pancasila dengan kondisi
    kekiniaan ternyata masih sebatas sebagai jargon-jargon
    politik yang tak membumi. Padahal Bung Karno dalam pidato
    politiknya pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945 secara jelas
    menyebutkan Indonesia didirikan atas sebuah dasar
    Kebangsaan, mulai dari ujung Aceh sampai Irian. Bung Karno
    juga menegaskan bahwa negara Indonesia bukanlah satu
    negara untuk satu orang atau satu golongan namun Indonesia
    didirikan semua buat semua yang direpresentasikan melalui
    permusyawaratan. Selanjutnya, Bung Karno menyatakan di
    dalam Indonesia merdeka itu tak boleh ada kemiskinan serta
    menegaskan bahwa Indonesia berdiri atas dasar prinsip
    Ketuhanan.
    Gagasan-gagasan Bung Karno itulah yang sepatutnya kita
    renungkan kembali untuk menjawab beragam persoalan
    masa kini. Semangat kebangsaan yang disampaikan Bung
    Karno itu merupakan solusi terhadap persoalan ancaman
    disintegrasi bangsa. Kemudian, penegasan Bung Karno bahwa
    Indonesia sebagai negara merdeka tak boleh ada yang miskin
    sesungguhnya menjadi tantangan besar untuk memerangi
    korupsi yang sesungguhnya menjadi penyebab masih lahirnya
    kemiskinan di negeri ini. Lalu prinsip ketuhanan itu sekaligus
    juga menjadi jawaban terhadap masih bermunculannya
    pemahaman radikal.
    Para peserta upacara yang saya hormati,
    Lantas darimana harus dimulai upaya untuk membumikan
    nilai-nilai Pancasila yang agung tersebut? Meminjam
    pernyataan Plato bahwa budi pekerti yang tinggi adalah rasa
    malu terhadap diri sendiri. Artinya, menanamkan rasa malu
    untuk berbuat kesalahan menjadi hal paling utama untuk
    menanamkan nilai-nilai yang termaktub di dalam Pancasila.
    Untuk melihat keteladanan bersikap malu ini sebenarnya kita
    bisa mencontoh pada masyarakat Jepang. Di Jepang menjadi
    sebuah aib besar jika seorang pejabat negara melakukan
    praktek korupsi. Saat seorang pejabat negara itu baru saja
    disebutkan namanya sebagai pihak terduga, maka para
    pejabat publik itu langsung meletakkan jabatannya. Darimana
    sikap gentlement semacam itu tumbuh? Jawabnya
    sederhana: mereka memiliki budaya malu yang sudah
    mengakar!
    Lantas bagaimana dengan pejabat publik di negeri ini?
    Budaya malu inilah yang sebenarnya masih belum mengakar
    di Indonesia. Tentunya, untuk menumbuhkan budaya malu itu
    tak hanya terbatas pada pejabat publik saja namun sudah
    seharusnya dilakukan juga oleh setiap individu-individu yang
    ada di negeri ini.
    Saya percaya filosofi Plato yang menganjurkan rasa malu
    terhadap diri sendiri itu bisa menjadi solusi ampuh untuk
    mengantarkan Indonesia menjadi negara besar di kemudian
    hari. Untuk menumbuhkan budaya malu itu, institusi
    pendidikan sebenarnya memiliki peran cukup penting dan
    strategis.
    Sebagai insititusi yang harusnya belum terkontaminasi oleh
    pragmatisme kepentingan, lembaga pendidikan harusnya bisa
    mengelaborasikan ke dalam proses pengajaran yang dikaitkan
    dengan persoalan-persoalan kontemporer. Artinya, proses

    View Slide

  4. pengajaran nilai itu bukan lagi bersifat text book yang bersifat
    monologis. Proses penanaman nilai ini sepatutnya didorong
    untuk melahirkan diskursus-diskursus kritis yang bersifat
    kekinian.
    Setelah hadir di ruang-ruang pendidikan, budaya malu ini
    harusnya di-support juga oleh para pemegang otoritas untuk
    berani menghadirkan keteladanan bersikap malu layaknya
    para pemimpin di Jepang. Budaya malu inilah yang harusnya
    digebuk lebih keras lagi oleh Jokowi karena hal inilah yang
    paling fundamental untuk ditumbuhkan di Indonesia.
    Akhirnya, dalam memperingati Hari Lahir Pancasila ini,
    kepada seluruh jajaran Universitas Darma Persada, termasuk
    dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa, saya ingin
    menyampaikan bahwa tidak boleh ada kata impossible dan
    menyerah untuk berani berbuat kebaikan. Saya percaya,
    menanamkan budaya malu ini sebenarnya menjadi salah satu
    cara membumikan Pancasila sebagai way of life sekaligus
    common platform buat kehidupan berbangsa yang lebih baik
    di negeri ini.
    Wabillahit taufiq walhidayah,
    Wassalamualaikum warahmatullaahi wabarakatuh.

    View Slide

  5. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2018

    View Slide

  6. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2018
    Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh
    Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua.
    Alhamdulillah, di pagi hari ini kita dapat berkumpul bersama
    dalam upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila. Apabila pada
    peringatan tahun lalu saya mengajak untuk membumikan
    kembali Pancasila ke dalam kehidupan kita sehari-hari melalui
    budaya malu, maka pada tahun ini saya mengajak untuk
    membumikan kembali Pancasila ke dalam kehidupan kita
    dalam bernegara dan berbangsa.
    Tujuh puluh tiga tahun sudah kita mengakui Pancasila sebagai
    dasar negara Indonesia. Sebuah pondasi visioner yang
    sesungguhnya telah dipancangkan para founding father untuk
    membangun sebuah negara merdeka bernama Indonesia.
    Kini, setelah 73 tahun berlalu sejak dasar negara itu diakui
    kelahirannya pada 1 Juni 1945, sudahkah Pancasila menjadi
    bagian dari kehidupan kita dalam bernegara dan berbangsa?
    Inilah pertanyaan fundamental yang layak untuk
    dipertanyakan ulang ketika kita semua hendak merayakan
    hari kelahiran Pancasila pada tahun ini.
    Namun, sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada
    baiknya kalau kita berkaca terlebih dahulu terhadap dua
    permasalahan besar yang dihadapi oleh bangsa ini. Persoalan
    krusial yang pertama itu adalah pemberantasan korupsi.
    Berdasarkan data indeks persepsi korupsi pada 2017 yang
    dirilis Transparency International pada awal tahun ini
    menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180
    negara yang diteliti. Dari skala 0-100, Indonesia memiliki nilai
    indeks persepsi korupsi sebesar 37. Dalam skala penilaian itu
    dijelaskan nilai 0 mengandung arti sangat korup dan nilai 100
    memiliki indeks persepsi paling bersih. Merujuk skala yang
    ditunjukkan Transparency International tadi, maka Indonesia
    tergolong sebagai negara yang masih belum serius dalam
    memberantas korupsi.
    Temuan Transparency International itu diperkuat juga oleh
    fakta yang diungkap oleh lembaga Indonesia Corruption
    Watch (ICW). Dalam dua tahun terakhir ini memperlihatkan
    adanya tren korupsi yang meningkat. Sepanjang 2017 tercatat
    ada 576 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp
    6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar. Setahun sebelumnya,
    kerugian negara yang diakibatkan dari 482 kasus korupsi
    mencapai Rp 1,5 triliun.
    Selain persoalan korupsi, Indonesia menghadapi pula
    masalah ketimpangan ekonomi. Hasil kajian World Happiness
    Report 2018 yang dilakukan Bank Dunia, Indonesia
    ditempatkan di peringkat ke-62 negara paling timpang di
    dunia, dengan indeks gini sebesar 0,395. Data ketimpangan
    itu makin mencolok ketika menyitir hasil riset International
    Forum on Indonesian Development (Infid). Riset tersebut
    mengungkap fakta bahwa kekayaan 1 persen penduduk di

    View Slide

  7. Indonesia itu setara dengan 45 kekayaan nasional. Artinya,
    jika populasi penduduk di Tanah Air diasumsikan mencapai
    261 juta, maka penduduk terkaya itu mencapai 261.000 pada
    2017.
    Para peserta upacara yang saya hormati,
    Dua masalah besar inilah yang tentunya sangat mengganggu
    rasa keadilan dan kebersamaan kita sebagai warga negara
    Indonesia. Bukankah Pancasila yang disampaikan Soekarno
    pada pidato di sidang BPUPKI 73 tahun silam itu secara tegas
    menyatakan bahwa,"Kita hendak mendirikan suatu negara
    “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu
    golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang
    kaya, – tetapi “semua buat semua”.
    Dalam menafsirkan pendapat Bung Karno itu, negara
    harusnya berperan sentral untuk menghadirkan kebersamaan
    "semua buat semua" tersebut. Dua masalah besar yang telah
    disajikan di awal pidato ini, sesungguhnya telah
    memperlihatkan ketidakmampuan pengelola negara untuk
    mewujudkan mimpi besar si Bung Besar Soekarno.
    Bagaimana mungkin kita bisa menciptakan "semua buat
    semua" ketika uang negara yang harusnya bisa menciptakan
    lapangan pekerjaan atau perbaikan taraf hidup masyarakat
    bangsa ini ternyata disalahgunakan untuk kepentingan
    kelompok maupun golongan tertentu saja? Atau, sungguh
    sulit pula membayangkan terjadinya pemerataan ketika
    segelintir orang justru bisa mengendalikan pergerakan
    ekonomi di negeri ini?
    Ketika masalah dan pertanyaan kritis itu terus muncul,
    tentunya perlu dicarikan solusi. Rasanya juga tak perlu lagi
    kita harus terus bersilang pendapat terhadap dua persoalan
    besar bangsa ini. Sebagai solusinya adalah bagaimana
    menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila itu ke dalam
    kehidupan sehari-hari. Kandungan nilai praktis Pancasila
    seperti taat dalam menjalankan ajaran agama, toleransi,
    hingga menumbuhkan sikap gotong royong, harusnya dapat
    diejawantahkan ke dalam bentuk sikap, perilaku dan tindakan
    para aparatur negara maupun masyarakat secara umum.
    Lalu ketika dua persoalan besar tadi masih saja menggejala
    maka ikhtiar yang bisa dilakukannya adalah melawan dengan
    cara menginternalisasikan nilai-nilai dari sila pertama hingga
    sila kelima Pancasila itu ke dalam wujud nyata. Mungkin saja
    hal ini terdengar teoritis dan klise. Tapi, percayalah hanya
    dengan cara membumikan dan mengamalkan Pancasila saja
    maka kelak terwujudnya Indonesia yang tangguh dan kuat
    sebagaimana dicita-citakan para founding father negeri ini.
    Lantas, dengan masih terseraknya masalah tadi maka
    sesungguhnya hal ini menjadi cerminan bahwa Pancasila itu
    belum terimplementasi secara sungguh-sunguh di dalam
    kehidupan bangsa ini. Selama ini, kita baru menempatkan
    Pancasila sebagai bentuk hafalan maupun jargon yang
    digunakan sebagai komoditas politik praktis saja. Meminjam
    istilah Bung Karno sewaktu berpidato di sidang BPUPKI,
    Pancasila belum menjadi philosofische grondslag
    sebagaimana yang dicita-citakannya.
    Akhirnya, dalam memperingati Hari Lahir Pancasila ini,
    kepada seluruh jajaran Universitas Darma Persada, termasuk

    View Slide

  8. dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa, saya ingin
    berpesan bahwa jika ingin bangsa ini menjadi besar maka
    hanya ada satu jalan, yakni membumikan nilai-nilai Pancasila
    itu ke dalam aktifitas bernegara dan berbangsa. Diskursus
    untuk itu rasanya sudah final dan sudah disepakati sejak
    lama. Sekarang ini yang dibutuhkan adalah bagaimana
    implementasinya.
    Wabillahit Taufiq Walhidayah,
    Wassalamualaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh.

    View Slide