Upgrade to Pro — share decks privately, control downloads, hide ads and more …

POTENSI LIKUEFAKSI PADA CEKUNGAN AIRTANAH BANDU...

POTENSI LIKUEFAKSI PADA CEKUNGAN AIRTANAH BANDUNG TERHADAP VARIASI GERAKAN TANAH BERSUMBER DARI SESAR LEMBANG

Seminar Thesis

Muhammad Fajri Nugroho Putra
22719302

Pembimbing: Dr. Lilik Eko Widodo dan Dr. Dasapta Erwin Irawan

Penelitian ini berfokus pada penentuan respons dinamik dan potensi likuefaksi yang terjadi pada endapan tanah (soil deposit) yang membentuk lapisan pembawa airtanah di Cekungan Airtanah (CAT) Bandung terhadap variasi gerakan tanah dengan intensitas berkisar antara 6.6-7.2 Mw dari Sesar Lembang yang merambat vertikal dari lapisan bantalan atau batuan dasar cekungan airtanah. Respon dinamis dari endapan tanah tanah dianggap sebagai model satu dimensi, karena perambatan gelombang geser vertikal pada lapisan pembawa airtnah yang dipengaruhi oleh kondisi atau sifat lapisan tanah setempat yang dianggap bersifat viskoelastik linier dengan redaman yang bervariasi. Sedangkan batuan dasar, dalam hal ini dianggap sebagai batas CAT, dianggap sebagai media elastis, di mana gelombang geser akibat gempa merambat. Beberapa lapisan pembawa airtanah membentuk sistem multi-akuifer di dalam CAT Bandung secara keseluruhan. Akuifer bebas berada di bagian paling atas dapat dianggap sebagai sistem aliran airtanah lokal, sedangkan akuifer semi-tertekan di bagian tengah sebagai sistem aliran airtanah menengah dan akuifer semi-tertekan di bagian bawah sebagai sistem aliran airtanah regional. Digunakan juga empat model lapisan tanah yang berada di dalam kawasan CAT Bandung yang terdiri dari Gedabage 1, Gedebage 2, Rancaekek dan Solokanjeruk. Simulasi respon dinamik dan potensi likuefaksi dilakukan menggunakan perangkat dari GeoMotions. Simulasi ini menggunakan data gerakan tanah yang memiliki parameter menyerupai Sesar Lembang. Dari beberapa hasil simulasi diketahui, bahwa gerakan tanah dengan intensitas mulai dari 6.8 Mw dapat menyebabkan likuefaksi pada lapisan pembawa airtanah di dekat batuan dasar. Gerakan tanah dalam kisaran 6.6-7.2 Mw dapat menyebabkan Peak Ground Acceleration (PGA) di permukaan tanah dalam kisaran 0.15-0.25 gal. Gempa dengan intensitas 6.6 Mw dan 7.2 Mw dapat menyebabkan likuefaksi pada empat model lapisan akuifer di CAT Bandung. Nilai dari PGA yang dihasilkan memiliki rentang 0.11-0.28 gal pada permukaan tanah dan pada batuan dasar sebesar 0.33-0.82 gal.

Kata kunci : ground motion, gempa Sesar Lembang, respons dinamik lapisan tanah, likuefaksi tanah.

This study focuses on determining the dynamic response and liquefaction potential that occurs in soil deposits that form the groundwater-bearing layer in the Bandung Groundwater Basin (GwB) to variations in ground motions with intensity ranging from 6.6-7.2 Mw from the Lembang Fault which propagates vertically from bearing layer or bedrock of groundwater basins. The dynamic response of soil deposition is considered as a one-dimensional model, because the vertical shear wave propagation in the groundwater bearing layer is influenced by the conditions or properties of the local soil layer which is considered to be linear viscoelastic with varying attenuation. While the bedrock, in this case considered as the GwB boundary, is considered as an elastic medium, in which shear waves due to earthquake propagate. Several groundwater-bearing layers form a multi-aquifer system within the entire Bandung GwB. The unconfined aquifer at the top can be considered as a local groundwater flow system, while the semi-confined aquifer in the middle as an intermediate groundwater flow system and the semi-confined aquifer at the bottom as a regional groundwater flow system. Four soil layers are also used in the Bandung CAT area, which are Gedabage 1, Gedebage 2, Rancaekek and Solokanjeruk. Simulation of dynamic response and liquefaction potential using a software from GeoMotions. This simulation uses ground motion data which has parameters similar to the Lembang Fault. From several simulation results, it is known that ground motion with an intensity ranging from 6.8 Mw can cause liquefaction in the groundwater-carrying layer near the bedrock. Ground motion in the range of 6.6-7.2 Mw can cause Peak Ground Acceleration (PGA) at ground level in the range of 0.15-0.25 gal. Earthquakes with an intensity of 6.6 Mw and 7.2 Mw can cause liquefaction in four models of aquifer layers in the Bandung CAT. The value of the resulting PGA has a range of 0.11-0.28 gal at the soil surface and 0.33-0.82 gal at bedrock.

Keywords : ground motion, Lembang Fault earthquake, dynamic response of soil layers, soil liquefaction

Dasapta Erwin Irawan

March 22, 2022
Tweet

More Decks by Dasapta Erwin Irawan

Other Decks in Science

Transcript

  1. POTENSI LIKUEFAKSI PADA CEKUNGAN AIRTANAH BANDUNG TERHADAP VARIASI GERAKAN TANAH

    BERSUMBER DARI SESAR LEMBANG TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh MUHAMMAD FAJRI NUGROHO PUTRA NIM: 22719302 (Program Studi Magister Teknik Air Tanah) INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG Maret 2022
  2. i ABSTRAK POTENSI LIKUEFAKSI PADA CEKUNGAN AIRTANAH BANDUNG TERHADAP VARIASI

    GERAKAN TANAH BERSUMBER DARI SESAR LEMBANG Oleh Muhammad Fajri Nugroho Putra NIM: 22719302 (Program Studi Magister Teknik Air Tanah) Penelitian ini berfokus pada penentuan respons dinamik dan potensi likuefaksi yang terjadi pada endapan tanah (soil deposit) yang membentuk lapisan pembawa airtanah di Cekungan Airtanah (CAT) Bandung terhadap variasi gerakan tanah dengan intensitas berkisar antara 6.6-7.2 Mw dari Sesar Lembang yang merambat vertikal dari lapisan bantalan atau batuan dasar cekungan airtanah. Respon dinamis dari endapan tanah tanah dianggap sebagai model satu dimensi, karena perambatan gelombang geser vertikal pada lapisan pembawa airtnah yang dipengaruhi oleh kondisi atau sifat lapisan tanah setempat yang dianggap bersifat viskoelastik linier dengan redaman yang bervariasi. Sedangkan batuan dasar, dalam hal ini dianggap sebagai batas CAT, dianggap sebagai media elastis, di mana gelombang geser akibat gempa merambat. Beberapa lapisan pembawa airtanah membentuk sistem multi-akuifer di dalam CAT Bandung secara keseluruhan. Akuifer bebas berada di bagian paling atas dapat dianggap sebagai sistem aliran airtanah lokal, sedangkan akuifer semi-tertekan di bagian tengah sebagai sistem aliran airtanah menengah dan akuifer semi-tertekan di bagian bawah sebagai sistem aliran airtanah regional. Digunakan juga empat model lapisan tanah yang berada di dalam kawasan CAT Bandung yang terdiri dari Gedabage 1, Gedebage 2, Rancaekek dan Solokanjeruk. Simulasi respon dinamik dan potensi likuefaksi dilakukan menggunakan perangkat dari GeoMotions. Simulasi ini menggunakan data gerakan tanah yang memiliki parameter menyerupai Sesar Lembang. Dari beberapa hasil simulasi diketahui, bahwa gerakan tanah dengan intensitas mulai dari 6.8 Mw dapat menyebabkan likuefaksi pada lapisan pembawa airtanah di dekat batuan dasar. Gerakan tanah dalam kisaran 6.6-7.2 Mw dapat menyebabkan Peak Ground Acceleration (PGA) di permukaan tanah dalam kisaran 0.15-0.25 gal. Gempa dengan intensitas 6.6 Mw dan 7.2 Mw dapat menyebabkan likuefaksi pada empat model lapisan akuifer di CAT Bandung. Nilai dari PGA yang dihasilkan memiliki rentang 0.11-0.28 gal pada permukaan tanah dan pada batuan dasar sebesar 0.33-0.82 gal.
  3. ii Kata kunci : ground motion, gempa Sesar Lembang, respons

    dinamik lapisan tanah, likuefaksi tanah.
  4. iii ABSTRACT LIQUEFACTION POTENTIAL IN BANDUNG GROUNDWATER BASIN TO VARIATION

    OF GROUND MOTION FROM LEMBANG FAULT By Muhammad Fajri Nugroho Putra NIM: 22719302 (Master’s Program in Hydrogeology Engineering) This study focuses on determining the dynamic response and liquefaction potential that occurs in soil deposits that form the groundwater-bearing layer in the Bandung Groundwater Basin (GwB) to variations in ground motions with intensity ranging from 6.6-7.2 Mw from the Lembang Fault which propagates vertically from bearing layer or bedrock of groundwater basins. The dynamic response of soil deposition is considered as a one-dimensional model, because the vertical shear wave propagation in the groundwater bearing layer is influenced by the conditions or properties of the local soil layer which is considered to be linear viscoelastic with varying attenuation. While the bedrock, in this case considered as the GwB boundary, is considered as an elastic medium, in which shear waves due to earthquake propagate. Several groundwater-bearing layers form a multi- aquifer system within the entire Bandung GwB. The unconfined aquifer at the top can be considered as a local groundwater flow system, while the semi-confined aquifer in the middle as an intermediate groundwater flow system and the semi- confined aquifer at the bottom as a regional groundwater flow system. Four soil layers are also used in the Bandung CAT area, which are Gedabage 1, Gedebage 2, Rancaekek and Solokanjeruk. Simulation of dynamic response and liquefaction potential using a software from GeoMotions. This simulation uses ground motion data which has parameters similar to the Lembang Fault. From several simulation results, it is known that ground motion with an intensity ranging from 6.8 Mw can cause liquefaction in the groundwater-carrying layer near the bedrock. Ground motion in the range of 6.6-7.2 Mw can cause Peak Ground Acceleration (PGA) at ground level in the range of 0.15-0.25 gal. Earthquakes with an intensity of 6.6 Mw and 7.2 Mw can cause liquefaction in four models of aquifer layers in the Bandung CAT. The value of the resulting PGA has a range of 0.11-0.28 gal at the soil surface and 0.33-0.82 gal at bedrock. Keywords : ground motion, Lembang Fault earthquake, dynamic response of soil layers, soil liquefaction
  5. iv HALAMAN PENGESAHAN POTENSI LIKUEFAKSI PADA CEKUNGAN AIRTANAH BANDUNG TERHADAP

    VARIASI GERAKAN TANAH BERSUMBER DARI SESAR LEMBANG Oleh Muhammad Fajri Nugroho Putra NIM: 22719302 (Program Studi Magister Teknik Air Tanah) Institut Teknologi Bandung Menyetujui Tim Pembimbing Tanggal ……………………….. Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. rer. nat. Ir. Lilik Eko Widodo, M.S. NIP. 19591206 199202 1 001 Dr. Dasapta Erwin Irawan, ST., MT. NIP. 19760417 200801 1 007
  6. v PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS Tesis Magister yang tidak dipublikasikan terdaftar

    dan tersedia di Perpustakaan Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada penulis dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin penulis dan harus disertai dengan kaidah ilmiah untuk menyebutkan sumbernya. Sitasi hasil penelitian Tesis ini dapat di tulis dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: Putra, M F N. (2022): Potensi Likuefaksi Pada Cekungan Airtanah Bandung Terhadap Variasi Gerakan Tanah Bersumber Dari Sesar Lembang, Tesis Program Magister, Institut Teknologi Bandung. dan dalam bahasa Inggris sebagai berikut: Putra, M F N. (2022): Liquefaction Potential in Bandung Groundwater Basin to Variation of Ground Motion from Lembang Fault, Master’s Thesis, Institut Teknologi Bandung. Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh tesis haruslah seizin Dekan Sekolah Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
  7. vi KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur bagi Allah atas

    rahmat serta berbagai nikmat yang diberikan kepada penulis sehingga tesis ini dapat dikerjakan hingga akhir. Selama proses pengumpulan data, pengolahan data, hingga penulisan tesis ini banyak sekali pihak yang membantu penulis. Persembahan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr. rer. nat. Ir. Lilik Eko Widodo, M.S. dan Dr. Dasapta Erwin Irawan, ST., MT. sebagai Pembimbing tesis, atas segala kesempatan dan bimbingan berupa kritik, saran, serta semangatnya selama pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis ini selesai. 2. Dr. Rusmawan Suwarman, S.Si., M.T selaku Ketua Program Studi Teknik Air Tanah, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. 3. Segenap staf pengajar dan Pak Tatang selaku staf tata usaha di Program Studi Teknik Air Tanah, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumia, Institut Teknologi Bandung yang banyak membantu penulis terkait hal-hal akademik dan hal-hal yang mendukung penulis dalam perkuliahan. 4. Orang tua dan juga adik – adik tercinta atas segala doa dan dukungan untuk menyelesaikan studi. 5. Rekan-rekan yang menemani, membantu dan memberi dukungan penulis selama menempuh Pendidikan di Program Studi Magister Teknik Air Tanah. Penulis sangat menyadari bahwa banyak sekali kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan tesis. Saran dan masukan sangat penulis harapkan bagi perbaikan tesis ini. Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi masyarakat dan Pemerintah Kota Bandung dan umumnya bagi kita semua. Bandung, Maret 2022 Penulis
  8. vii DAFTAR ISI ABSTRAK............................................................................................................... i ABSTRACT...........................................................................................................iii HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................iv PEDOMAN PENGGUNAAN

    TESIS...................................................................v KATA PENGANTAR...........................................................................................vi DAFTAR ISI........................................................................................................ vii DAFTAR GAMBAR.............................................................................................ix DAFTAR TABEL................................................................................................. xi Bab I Pendahuluan..............................................................................................1 I.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1 I.2 Tujuan Penelitian.......................................................................................2 I.3 Batasan Masalah........................................................................................2 I.4 Lokasi Penelitian.......................................................................................2 I.5 Metodologi Penelitian............................................................................... 3 I.6 Sistematika Penulisan................................................................................4 Bab II Tinjauan Pustaka....................................................................................5 II.1 Gempabumi............................................................................................... 5 II.2 Pacific Earthquake Engineering Research Center (PEER)......................5 II.3 Peak Ground acceleration.........................................................................6 II.4 Plasticity Index dan Overconsolitaed Ratio pada Lempung..................... 7 II.5 Seismic Hazard Analysis........................................................................... 8 II.6 Likuefaksi..................................................................................................9 II.7 GeoMotions.............................................................................................11 Bab III Tinjauan Daerah Penelitian................................................................15 III.1 Kondisi Geologi Cekungan Bandung......................................................15 III.2 Kegempaan di Cekungan Airtanah Bandung..........................................16 III.3 Cekungan Air Tanah Bandung................................................................18 III.4 Model Lapisan Tanah..............................................................................19 III.5 Sifat Fisik Tanah..................................................................................... 23 Bab IV Hasil dan Pembahasan........................................................................ 24 IV.1 Data Gerakan Tanah................................................................................24
  9. viii IV.2 Variasi Data Gerakan Tanah................................................................... 26 IV.3 Variasi Model

    Lapisan............................................................................ 34 Bab V Kesimpulan dan Saran..........................................................................42 V.1 Kesimpulan..............................................................................................42 V.2 Saran........................................................................................................42 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................43
  10. ix DAFTAR GAMBAR Gambar II. 1 Citra Satelit Desa Petobo,

    Sebelum dan Setelah Gempa Palu 2018 (BNPB, 2018).........................................................................................................11 Gambar II. 2 Tampilan SHAKE 2000................................................................. 12 Gambar II. 3 Tampilan DMOD2000....................................................................13 Gambar III. 1 Peta Geologi Wilayah Cekungan Bandung (Hutasoit, 2009)........... ................................................................................................................................16 Gambar III. 2 Model Batas Lapisan Airtanah Multi-akuifer pada CAT Bandung ................................................................................................................................19 Gambar III. 3 Soil Profile 1 wilayah Gedebage 1 (Desiani dan Rahardjo, 2017) ................................................................................................................................20 Gambar III. 4 Soil Profile wilayah Gedebage 2, Rancaekek dan Solokanjeruk (Tohari dkk, 2015)................................................................................................. 21 Gambar IV. 1 Penghitungan Data Gerakan Tanah Untuk Target Penskalaan Ulang......................................................................................................................24 Gambar IV. 2 Penskalaan Ulang Data Gerakan Tanah........................................25 Gambar IV. 3 Respon Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 7.2 Mw (Hector 1999) ................................................................................................................................27 Gambar IV. 4 Respon Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 7.2 Mw (Joshua Tree 1992)...................................................................................................................... 27 Gambar IV. 5 Respon Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 7.2 Mw (Moronggo Valley 1992)...........................................................................................................28 Gambar IV. 6 Respon Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 6.6 Mw (Hector 1999) ................................................................................................................................28 Gambar IV. 7 Respon Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 6.6 Mw (Joshua Tree 1992)...................................................................................................................... 29 Gambar IV. 8 Respon Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 6.6 Mw (Moronggo Valley 1992)...........................................................................................................29 Gambar IV. 9 Respon Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 6.8 Mw (Hector 1999) ................................................................................................................................30
  11. x Gambar IV. 10 Respon Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 5.5

    Mw (Joshua Tree 1992)...................................................................................................................... 30 Gambar IV. 11 Respon Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 6.2 Mw (Moronggo Valley 1992)...........................................................................................................31 Gambar IV. 12 Potensi Likuefaksi berdasarkan Variasi Data Gerakan Tanah pada CAT Bandung........................................................................................................ 33 Gambar IV. 13 NPWP untuk Soil Profile 1 dengan Intensitas 6.6 Mw...............35 Gambar IV. 14 NPWP untuk Soil Profile 1 dengan Intensitas 7.2 Mw...............36 Gambar IV. 15 NPWP untuk Soil Profile 2 dengan Intensitas 6.6 Mw...............36 Gambar IV. 16 NPWP untuk Soil Profile 2 dengan Intensitas 7.2 Mw...............36 Gambar IV. 17 NPWP untuk Soil Profile 3 dengan Intensitas 6.6 Mw...............37 Gambar IV. 18 NPWP untuk Soil Profile 3 dengan Intensitas 7.2 Mw...............37 Gambar IV. 19 NPWP untuk Soil Profile 4 dengan Intensitas 6.6 Mw...............37 Gambar IV. 20 NPWP untuk Soil Profile 4 dengan Intensitas 7.2 Mw...............38
  12. xi DAFTAR TABEL Tabel II. 1 PEER Data (2021)................................................................................6 Tabel

    III. 1 Zona Episenter dan Beberapa Parameter Kegempaan (Galih dkk, 2008)...................................................................................................................... 17 Tabel III. 2 Parameter Patahan di Pulau Jawa (Irsyam dkk, 2010)...................... 18 Tabel III. 3 Profil dan Parameter Lapisan Pembawa Airtanah.............................19 Tabel III. 4 Soil Profile 1 wilayah Gedebage 1 (Desiani dan Rahardjo, 2017)....20 Tabel III. 5 Soil Profile 2 wilayah Gedebage 2 (Tohari dkk, 2015).....................22 Tabel III. 6 Soil Profile 3 wilayah Rancaekek (Tohari dkk, 2015)...................... 22 Tabel III. 7 Soil Profile 4 wilayah Solokanjeruk (Tohari dkk, 2015)...................22 Tabel IV. 1 Hasil Perhitungan PGA dan Likuefaksi Intensitas Gempa 6.6 Mw.. 41 Tabel IV. 2 Hasil Perhitungan PGA dan Likuefaksi Intensitas Gempa 7.2 Mw.. 41
  13. 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Daerah yang berdekatan

    dengan gunungapi dan sesar aktif sangat rentan akan terjadinya gempabumi. Gempabumi yang terjadi dapat bersumber dari aktivitas vulkanik dari gunungapi ataupun dari pergerakan sesar. Gempa-gempa yang disebabkan oleh aktifitas sesar-sesar di sekitar cekungan Bandung memiliki frekuensi kejadian lebih besar bila dibandingkan dengan sumber gempa lain (Galih dkk, 2008). Sesar Lembang hanya berjarak 10-15 km di utara Kota Bandung, Jawa Barat. Sesar Lembang merupakan sesar aktif dengan slip rate sekitar 6 mm/tahun (Meilano dkk, 2012); 1.5-3.45 mm/tahun (Daryono dkk, 2019). Secara historis, Sesar Lembang dapat menyebabkan gempa dengan instensitas 6.2 Mw (Daryono dkk, 2019). Sedangkan pada beberapa gempa terkini yang berasal dari Sesar Lembang pada umumnya memiliki intensitas gempa yang rendah, sekitar 2.8-2.9 Mw (Nugraha dkk, 2019), dan dikhawatirkan akan terjadi gempa yang besar dari Sesar Lembang. Potensi gempa yang berasal dari Sesar Lembang dapat mencapai 6.5-7.0 Mw (Daryono dkk, 2019); 6.6 Mw (Irsyam dkk, 2010) berdasarkan mekanisme sesar geser dengan potensi PGA sekitar 0.26 gal (Handayani dkk, 2009). Berdasarkan Widodo (2021), intensitas gempa dengan rentang 6.0-7.0 Mw dengan sumber dari Sesar Lembang dapat menyebabkan likuefaksi di Kota Bandung dengan kemungkinan sedang, tergantung pada kondisi lapisan tanah. Gempa dengan intensitas lebih dari 7.2 Mw memiliki kemungkinan tinggi tejadinya likuefaksi (Widodo, 2021). Diperlukan model lapisan bawah permukaan dari lokasi penelitian untuk menggambarkan batas-batas lapisan airtanah pada CAT Bandung. Model lapisan pembawa airtanah di dalam sistem multi-akuifer dibagi menjadi akuifer bebas, akuifer semi-tertekan dan akuifer tertekan. Terdapat juga akuitar yang terletak diantara masing-masing akuifer. Model ini dijadikan sebagai gambaran secara umum lapisan airtanah pada CAT Bandung. Diperlukan juga model lapisan pada beberapa kawasan yang berada di dalam kawasan CAT Bandung. Model lapisan tanah yang digunakan diambil berdasarkan Desiani dan Rahardjo (2017) dan
  14. 2 Tohari dkk (2015). Terdapat 4 model lapisan tanah yang

    terdiri dari kawasan Gedabage 1, Gedebage 2, Rancaekek dan Solokanjeruk. Dengan kondisi geologi dan hidrogeologi seperti yang telah disebutkan, likuefaksi di CAT Bandung mungkin saja dapat terjadi. I.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menghitung potensi likuefaksi pada CAT Bandung terhadap gempa yang bersumber dari Sesar Lembang dengan variasi data gerakan tanah. 2. Menghitung potensi likuefaksi pada empat model lapisan tanah di CAT Bandung terhadap gempa yang bersumber dari Sesar Lembang dengan data gerakan tanah. I.3 Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Penelitian berada di kawasan CAT Bandung dengan sumber gempa berasal dari Sesar Lembang. 2. Perhitungan potensi likuefaksi pada CAT bandung pada intensitas gempa intensitas 6.6 Mw dan 7.2 Mw. 3. Mengtahui rentang intensitas gempa yang berpotensi untuk terjadinya likuefaksi pada CAT Bandung. I.4 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di Cekungan Air Tanah Bandung, dengan elevasi berkisar 660 sampai 2750 meter di atas permukaan laut. Dikelilingi oleh Kompleks Gunung Burangrang-Tangkubanperahu pada bagian Utara dan Kompleks Gunung Wayang-Windu Mandalawangi di bagian Selatan. Cekungan ini terbentuk dari endapan vulkanik Kuarter dan endapan danau yang mengering (Dam dkk, 1996). Terdapat juga empat model lapisan tanah yang terdapat digunakan pada penelitian ini yang masih di dalam kawasan Cekungan Air Tanah Bandung. Model lapisan tanah ini diantaranya yaitu, terdapat dua model lapisan
  15. 3 tanah di kawasan Gedebage, satu model lapisan tanah di

    kawasan Rancaekek dan Solokanjeruk. I.5 Metodologi Penelitian Beberapa metodelogi yang digunakan pada penelitian ini, antara lain : 1. Pra-penelitian Pra–penelitian meliputi studi pustaka dan perumusan masalah. Studi Pustaka bertujuan untuk mengetahui gambaran secara umum derah penelitian dan memperoleh informasi dan juga data terkait dengan kondisi geologi, hidrogeologi, historis gempa dan juga data yang berasal dari penelitian terdahulu. Informasi dan data disusun sedemikian rupa sehingga terbentuk Analisa awal penelitian. 2. Pengumpulan data Pengumpulan data diharapkan mendapatkan gambaran mengenai historis kegempaan, kondisi geologi dan hidrogeologi di CAT Bandung. Data yang digunakan dalam pernelitian yaitu data sekunder. Data sekunder berupa data yang berasal dari studi literatur ataupun data unduhan yang memiliki karakteristik yang serupa dengan daerah penelitian. Data sekunder terdiri dari data geologi, hidrogeologi, kegempaan dan model lapisan tanah. 3. Pengolahan data Pengolahan data dilakukan melalui beberapa alur tahapan yang saling berkaitan. Hal pertama yang dilakukan yaitu penskalaan ulang data sekunder sesuai dengan kondisi di daerah penelitian. Setelah itu, data diolah menggunakan SHAKE-2000 dab DMOD-2000 dengan masukan sesuai dengan tujuan penelitian. Pertama yang dilakukan yaitu perhitungan untuk intensitas gempa sesuai dengan referensi pada model lapisan CAT Bandung. Selanjutnya yaitu melakukan pengolahan yang sama terhadap empat model lapisan tanah yang terdapat di dalam CAT Bandung. 4. Analisis respon hasil pengolahan Hasil dari pengolahan data sekunder yaitu berupa nilai maksimal dari Peak Ground Acceleration (PGA), shear strain, shear stress, dan Normalized Pore Water Pressure (NPWP). Nilai dari masing-masing parameter tersebut
  16. 4 ditampilkan pada setiap lapisan sehingga membentuk kurva terhadap kedalaman.

    Untuk lapisan yang mengalami likuefaksi ditunjukan dengan garis putus-putus berwarna merah, beserta dengan keterangan dari waktu tunda-nya. Analisis yang dilakukan yaitu untuk mengetaui rentang intensitas gempa yang berpotensi terjadinya likuefaksi pada CAT Bandung di masing-masing data gerakan tanah. Terdapat juga hasil pengolahan pada empat model lapisan tanah di dalam CAT Bandung. I.6 Sistematika Penulisan Penulisan dalam tesis ini menggunakan sistematika sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, bagian ini berisikan latar belakang, maksud tujuan, batasan masalah, lokasi penelitian, dan metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka, bagian ini berisikan sumber informasi ilmiah yang digunakan pada penelitian ini. BAB III Tinjauan Daerah Penelitian, pada bagian ini berisi tentang tinjauan geologi, hidrologi, dan hidrogeologi daerah penelitian. BAB IV Hasil dan Pembahasan, pada bagian ini berisi tentang perhitungan potensi likuefaksi, perbandingan dengan data (data gerakan tanah dan model lapisan tanah), dan analisis yang melibatkan semua data. BAB V Kesimpulan dan Saran, bagian ini berisi mengenai hasil dari penelitian dan masukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
  17. 5 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Gempabumi Gempabumi merupakan salah

    satu hal yang dapat menimbulkan penjalaran gelombang seismik. Gempabumi merupakan gejala alam yang disebabkan oleh pelepasan energi regangan elastis batuan yang disebabkan adanya deformasi batuan yang terjadi di litosfer. Deformasi batuan terjadi akibat adanya tekanan (stress) dan tarikan (strain) pada lapisan bumi. Tekanan atau tarikan yang terus menerus menyebabkan daya dukung pada batuan akan mencapai batas maksimum dan mulai terjadi pergeseran dan akhirnya terjadi patahan secara tiba-tiba. Energi stress yang tersimpan akan dilepaskan dalam bentuk getaran yang dikenal dengan sebutan gempabumi (Fulki, 2011). Indonesia menempati zona tektonik yang sangat aktif karena tiga lempeng besar dunia dan sembilan lempeng kecil lainnya saling bertemu di wilayah Indonesia dan membentuk jalur-jalur pertemuan lempeng yang kompleks (Bird, 2003). Keberadaan interaksi antar lempeng-lempeng ini menempatkan wilayah Indonesia sebagai wilayah yang sangat rawan terhadap gempa bumi (Milson dkk, 1992). Tingginya aktivitas kegempaan ini terlihat dari hasil pencatatan dimana dalam rentang waktu 1897-2009 terdapat lebih dari 14.000 kejadian gempa dengan magnituda M > 5.0. Gempa-gempa tersebut telah menyebabkan ribuan korban jiwa, keruntuhan dan kerusakan ribuan infrastruktur dan bangunan, serta dana trilyunan rupiah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi (Irsyam dkk, 2010). II.2 Pacific Earthquake Engineering Research Center (PEER) Pacific Earthquake Engineering Research Center (PEER) merupakan pusat data gerakan tanah berbasis web yang menyediakan alat untuk mencari, memilih dan mengunduh data gerakan tanah. Data gerakan tanah diunduh dari NGA-West2 yang mencakup serangkaian gerakan tanah yang sangat besar yang tercatat dalam gempa bumi kerak dangkal di seluruh dunia dengan tektonik aktif. PEER memiliki salah satu kumpulan meta-data paling komprehensif, termasuk ukuran
  18. 6 jarak yang berbeda, berbagai karakterisasi situs, data sumber gempa,

    dan lain sebagainya. Terdapat tiga data gerakan tanah yang digunakan pada pengolahan data ini, yang bersumber dari PEER (Pacific Earthquake Engineering Research Center) Ground Motion Database. Data yang digunakan yaitu yang sesuai dengan karakteristik dari sumber gempa, dalam penelitian ini yaitu Sesar Lembang. Sesar Lembang merupakan sesar dengan mekanisme sesar geser. Jarak antara sumber gempa dengan daerah penelitian yaitu sekitar 10 km. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel II. 1, merupakan data gerakan tanah berdasarkan karakteristik Sesar Lembang. ketiga data ini memiliki mekanisme sesar geser dengan jarak dari sumber gempa (Rrup) yaitu tidak terlalu jauh dari 10 km. Tabel II. 1 PEER Data (2021) Ground Motion (Gempa) Tahun Stasiun M (Mw) Mekanismes Sesar Rrup (km) Hector Mine 1999 Hector 7.13 Sesar Geser 11.66 Landers 1992 Joshua Tree 7.28 Sesar Geser 11.03 Landers 1992 Morongo Valley 7.28 Sesar Geser 17.36 Catatan : Rrup merupakan jarak pada permukaan dari sumber gempa (epicenter) II.3 Peak Ground acceleration Acceleration atau percepatan adalah parameter yang menyatakan perubahan kecepatan mulai dari keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu. Percepatan getaran tanah maksimum adalah nilai percepatan getaran tanah terbesar yang pernah terjadi di suatu tempat yang diakibatkan oleh gelombang gempabumi (Febriani dkk, 2013). Informasi mengenai karakteristik PGA akibat gempa, dapat diperoleh melalu rekaman kejadian gempa pada masa yang lalu. Perekaman ground acceleration dimungkinkan untuk mengekstraksi karakterisrik utama dari rekaman ground motion seperti peak ground velocity, peak ground displacement, ground motion duration dan PGA (Villavarde, 2009). Percepatan gempa (ground
  19. 7 velocity) dapat dihitung sebagai percepatan di batuan dasar (ground

    acceleration) maupun percepatan gempa dipermukaan tanah (Irwansyah dan Winarko, 2012). Percepatan merupakan parameter yang menyatakan perubahan kecepatan mulai dari keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu. Percepatan getaran tanah merupakan gangguan yang dikaji untuk setiap gempabumi, kemudian dipilih percepatan tanah maksimum atau Peak Ground Acceleration (PGA) untuk dipetakan agar bisa memberikan pengertian tentang efek paling parah yang pernah dialami suatu lokasi. Percepatan getaran tanah maksimum adalah nilai percepatan getaran tanah yang terbesar yang pernah terjadi di suatu tempat yang diakibatkan oleh gempabumi. Semakin besar nilai PGA yang pernah terjadi disuatu tempat, semakin besar bahaya dan resiko gempabumi yang mungkin terjadi (Anindiya dkk, 2017). II.4 Plasticity Index dan Overconsolitaed Ratio pada Lempung Dalam Das, B.M. (1984), mengadakan penelitian tentang efek indeks plastisitas (PI) terhadap perilaku dinamik atau perilaku cyclic tanah lempung. Besarnya nilai modulus geser untuk setiap regangan geser dinormalisasikan terhadap modulus geser maksimum atau dinyatakan dalam notasi G/Gmaks. Tanah lempung yang mempunyai indeks plastistas tinggi mempunyai nilai normalisasi modulus geser relatif lebih besar pada suatu regangan geser tertentu dibanding dengan tanah dengan indeks plastisitas yang relatif rendah. Dengan demikian tanah lempung dengan PI yang sangat tinggi cenderung masih berperilaku elastik (G/Gmaks masih cukup besar) pada regangan geser yang relatif besar. Sebaliknya tanah dengan indeks plastisitas rendah seperti tanah pasir maka kekuatannya akan cepat sekali menurun (G/Gmaks menurun drastis) pada regangan geser yang semakin besar. Pengaruh indeks plastisitas (PI) terhadap rasio redaman pada suatu regangan geser tertentu, rasio redaman akan meningkat pada regangan geser yang semakin besar (Purwanto, 2008). Istilah normally consolidated dan overconsolidated digunakan untuk menggambarkan suatu sifat penting dari tanah lempung. Lapisan tanah lempung biasanya terjadi dari proses pengendapan. Selama proses pengendapan, lempung
  20. 8 mengalami konsolidasi atau penurunan, akibat tekanan tanah yang berada

    di atasnya. Lapisan-lapisan tanah yang berada di atas suatu ini suatu ketika mungkin kemudian hilang akibat proses alam. Hal ini berarti tanah lapisan bagian bawah pada suatu saat dalam sejarah geologinya pernah mengalami konsolidasi akibat dari tekanan yang lebih besar dari tekanan yang bekerja sekarang. Tanah semacam ini disebut tanah overconsolidated (OC) atau terkonsolidasi berlebihan. Kondisi lain, bila tegangan efektif yang bekerja pada suatu titik di dalam tanah pada waktu sekarang merupakan tegangan maksimumnya (atau tanah tidak pernah mengalami tekanan yang lebih besar dari tekanan pada waktu sekarang), maka lempung disebut pada kondisi normally consolidated (NC) atau terkonsolidasi normal (Novianto dan Supiyono, 2012). Tanah normally consolidated mempunyai nilai OCR = 1, dan tanah overconsolidated bila mempunyai OCR > 1. Dapat ditemui pula, tanah lempung mempunyai OCR < 1. Dalam hal ini tanah adalah sedang mengalami konsolidasi (underconsolidated). Kondisi underconsolidated dapat terjadi pada tanahtanah yang baru saja diendapkan baik secara geologis maupun oleh manusia. Dalam kondisi ini, lapisan lempung belum mengalami keseimbangan akibat beban di atasnya. Jika tekanan air pori diukur dalam kondisi underconsolidated, tekanannya akan melebihi tekanan hidrostatisnya. Keadaan ini mengarahkan kita kepada dua definisi dasar yang didasarkan pada sejarah tegangan bahwa; Terkonsolidasi secara normal (normally consolidated), dimana tekanan efektif overburden pada saat ini adalah merupakan tekanan maksimum yang pernah dialami oleh tanah itu; dan Terlalu terkonsolidasi (overconsolidated), dimana tekanan efektif overburden pada saat ini adalah lebih kecil dari tekanan yang pernah dialami oleh tanah itu sebelumnya. Tekanan efektif overburden maksimum yang pernah dialami sebelumnya dinamakan tekanan prakonsolidasi (preconsolidation pressure) (Novianto dan Supiyono, 2012). II.5 Seismic Hazard Analysis Hasil analisis hazard/bencana kegempaan (Seismic Hazard Analysis/SHA) berupa percepatan maksimum, respon spektra, dan time-histories. Ada dua metoda yang
  21. 9 biasa digunakan dalam SHA, yaitu: deterministik (Deterministic Seismic Hazard

    Analysis/DSHA) dan probabilistik (Probabilistic Seismic Hazard Analysis/PSHA). Metode DSHA umumnya diaplikasikan untuk mengestimasi percepatan gempa untuk konstruksi yang sangat membahayakan jika terjadi kerusakan, seperti bangunan Pembangkit Listrik, bendungan besar, konstruksi yang dekat dengan sesar aktif, dan untuk keperluan emergency response. Kelebihan metoda ini adalah mudah digunakan untuk memprediksi gerakan gempa pada skenario terburuk. Sedangkan kelemahannya adalah metoda ini tidak mempertimbangkan probabilitas terjadinya gempa dan pengaruh berbagai ketidakpastian yang terkait dalam analisis (Kramer, 1996). Analisis probabilistik PSHA pada prinsipnya adalah analisis deterministik dengan berbagai macam skenario dan didasarkan tidak hanya pada parameter gempa yang menghasilkan pergerakan tanah terbesar. Analisis DSHA dan PSHA pada kenyataannya saling melengkapi. Hasil DSHA dapat diverifikasi dengan PSHA untuk memastikan bahwa kejadian tersebut masih realistik atau mungkin terjadi. Sebaliknya, hasil analisis PSHA dapat diverifikasi oleh hasil analisis DSHA untuk memastikan bahwa hasil analisis tersebut rasional (Irsyam dkk, 2010). II.6 Likuefaksi Likuefaksi terjadi ketika gempa meningkatkan tekanan air di tanah jenuh dan membuat partikel di tanah kehilangan kontak satu sama lain, membuat lapisan tanah, terutama lapisan tanah berpasir, menjadi seperti cairan. Terzaghi dan Peck (1948) menyatakan bahwa likuefaksi sebagai keadaan kerusakan struktural tanah berpasir dan hilangnya daya dukung pondasi yang disebabkan oleh faktor non rembesan. The Japan Association of Soil Mechanics and Foundation Engineering mendefinisikan likuefaksi sebagai keadaan di mana tegangan geser dan tegangan efektif pasir jenuh berkurang karena meningkatnya tegangan air pori. Likuefaksi mengacu pada proses di mana zat apa pun diubah menjadi cair. Karena kenaikan tekanan pori dan penurunan gaya efektif, tanah kohesi dapat diubah dari keadaan padat ke keadaan cair (Zhang, 2019).
  22. 10 Bencana gempa likuefaksi berhubungan dengan gempa bumi. Pada proses

    likuefaksi pada batupasir, shear strength sudah tidak ada dan daya dukung hilang, sehingga terjadi keruntuhan skala besar. Jika daerah yang dicairkan berpenduduk padat, hal ini akan memiliki konsekuensi bencana. Likuefaksi menyebabkan runtuhnya bangunan dan korban jiwa, yang selama ini menjadi fokus perhatian (Zhang, 2019). Jenis bencana gempa likuefaksi terdiri dari lateral displacement, subsidence dan sand blasting dan watering. Lateral displacement adalah fenomena umum deformasi lateral tanah yang disebabkan oleh likuefaksi seismik. Karena kekuatan geser lapisan tanah bawah berkurang setelah likuefaksi, struktur atas tidak dapat ditopang dan perpindahan lateral terjadi di bawah aksi beban. Dalam banyak gempa bumi, likuefaksi menyebabkan perpindahan lateral skala besar dari fondasi, yang mengakibatkan sejumlah besar kehancuran fasilitas bawah tanah dan struktur bangunan. Selama disipasi tekanan air pori berlebih pada lapisan yang dicairkan setelah gempa likuefaksi, penataan ulang partikel mengakibatkan penurunan permukaan yang disebabkan oleh drainase dan konsolidasi. Pergeseran lateral akibat likuefaksi akan mengalami fenomena subsidence. Setelah likuefaksi tanah, tekanan air pori melebihi tegangan efektif permukaan atas, menembus lapisan penutup, dan partikel pasir dengan lapisan yang dicairkan menyembur keluar dari permukaan. Kerusakan yang diakibatkan oleh sand blasting dan water bursting tidak terlihat jelas di kota, tetapi di pedesaan akan menyebabkan erosi tanah, kerusakan lahan pertanian dan pendangkalan sungai (Zhang, 2019) Indonesia terletak di segmen barat daya dari sabuk seismik lingkar pasifik, termasuk daratan dan lautan. Kawasan ini sering terjadi pergerakan lempeng dan kekerasan, serta sering terjadi bencana gempa bumi. Pada tanggal 28 September 2018, gempa bumi berkekuatan 7.5 Mw terjadi di wilayah Palu, Indonesia. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lebih dari 3.000 orang hilang di Petobo dan Balaroa, dua daerah yang paling parah dilanda Palu. Situasi ini dapat dilihat pada Gambar II.1, yang merupakan perbandingan citra penginderaan jauh sebelum dan sesudah pada Desa Petobo. Seluruh desa,
  23. 11 termasuk rumah dan jalan, dibanjiri lumpur kuning setelah likuefaksi.

    Tanah padat asli berubah menjadi lumpur dan ribuan rumah berpindah atau runtuh atau tenggelam bersama dengan aliran puing-puing (Zhang, 2019) Gambar II. 1 Citra Satelit Desa Petobo, Sebelum dan Setelah Gempa Palu 2018 (BNPB, 2018) Gempa tidak serta merta menyebabkan likuefaksi, tetapi semakin besar magnitudonya, semakin besar kemungkinan likuefaksi (Zhang, 2019). Berdasarkan Widodo (2021), intensitas gempa dengan rentang 6.0-7.0 Mw dengan sumber dari Sesar Lembang dapat menyebabkan likuefaksi di Kota Bandung dengan kemungkinan sedang, tergantung pada kondisi lapisan tanah. Gempa dengan intensitas lebih dari 7.2 Mw memiliki kemungkinan tertinggi tejadinya likuefaksi (Widodo, 2021). II.7 GeoMotions Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan GeoMotions, aplikasi perangkat lunak untuk rekayasa gempa tektonik. Di dalam GeoMotions terdapat program SHAKE2000 untuk mengolah data gerakan tanah (ground motion) dan DMOD2000 untuk mengolah dan menampilkan nilai dan kurva hasil pengolahan.
  24. 12 Data gerakan tanah memiliki karakteristik yang bervariasi. Data yang

    digunakan sebisa mungkin memiliki karakteristik yang sama dengan daerah penelitian sesuai dengan referensi. Untuk menyesuaikan dengan referensi, data gerakan tanah selanjutnya akan dilakukan penskalaan ulang terhadap target. Kurva Pseudo- Absolute-Acceleration Spectra (PSA) akan menjadi target untuk penskalaan ulang dan gerakan tanah, dimana sasaran utama. Hasil dari penskalaan ulang ini akan menjadi input motion di SHAKE2000. Gambar II. 2 Tampilan SHAKE 2000 Pada SHAKE2000 terdapat opsi-opsi (Options) yang berisikan parameter yang harus diberi nilai (Gambar II.1). Option 1 yaitu parameter material pada lapisan, seperti tiga profil tanah, yaitu batupasir, batulempung dan batuan dasar. Berdasarkan model sifat material dinamis pada batulempung (Darendeli, 2021), diperlukan input berupa indeks plastisitas (PI) dan overconsolidation ratio (OCR). Untuk model dari Darendeli (2001), nilai OCR maksimal yaitu 8. Parameter selanjutnya (Option 2) yang dibutuhkan yaitu profil pada tiap lapisan, seperti tebal lapisan (meter), berat jenis (kN/m3) dan Vs (m/s). Option 3 merupakan data gerakan tanah terdapat dari Hector, Joshua Tree dan Moronggo Valley. Sumber gempa
  25. 13 berasal dari batuandasar yang terdapat di layer paling bawah,

    dimana terletak pada Option 4. Selanjutnya yaitu memasukan parameter strain ratio dan jumlah iterasi pada perhitungan (Option 5). Iterasi yang dilakukan sebanyak 10 kali, sedangkan untuk strain ratio dapat diestimasi berdasarkan intensitas gempa. Persamaan yang dapat digunakan untuk mengestimasi strain ratio (Idris dan Sun, 1992) yaitu [ratio=(M-1)/10]. Tahapan ini menghasilkan respon gelombang berdasarkan parameter yang digunakan yang nantinya akan digunakan pada pengolahan menggunakan D-MOD2000. Gambar II. 3 Tampilan DMOD2000 Pengolahan selanjut yaitu untuk melihat langsung kurva hasil pengolahan. Gambar II.2 merupakan tampilan opsi-opsi yang terdapat pada DMOD2000. Pada tahapan ini, option 1 yang digunakan yaitu Nonlinear Effective Stress untuk mengetahui respon dinamik hingga pore pressure. Selanjutnya yaitu diskripsi model lapisan tanah pada option 2 yang berisi keterangan tipe material lapisan, ketebalan lapisan, muka airtanah dan jenis lapisan tanah (batupasair atau batulempung). Diperlukan informasi dari sumber gempa berasal dari batuandasar di lapisan paling bawah dengan berupa nilai dari berat jenis dan Vs (Option 5). Ketika seluruh parameter selesai dimasukan, program dapat dijalankan. Program
  26. 14 dijalankan dengan menghitung nilai maksimum, karena hasil yang dinginkan

    yaitu kemungkinan terburuk yang terjadi pada model. D-MOD dapat mendeteksi apakah likuefaksi terjadi pada model yang dibuat. Apabila tidak terjadi likuefaksi, program akan berjalan dengan normal. Dan jika terjadi likuefaksi, terdapat pemberitahuan dengan informasi lapisan dan waktu tunda terjadinya likuefaksi. Hasil akhir yaitu berupa kurva percepatan (acceleration), tegangan (stress), renggangan (strain) dan tekanan air pori (pore water pressure) terhadap kedalaman. Lapisan yang terjadi likuefaksi akan ditandai dengan garis putus-putus berwarna merah dimana tekanan air pori memiliki nilai yang sangat tinggi.
  27. 15 Bab III Tinjauan Daerah Penelitian III.1 Kondisi Geologi Cekungan

    Bandung Peta geologi pada Gambar III. 1 merupakan kondisi geologi pada cekungan Bandung. Nama Formasi Kosambi diusulkan oleh Koesoemadinata dan Hartono (1981) untuk menggantikan nama Endapan Danau yang digunakan oleh Silitonga (1973). Menurut Hutasoit (2009), nama Formasi Kosambi juga digunakan untuk nama Endapan Danau yang digunakan oleh Alzwar dkk (1992) dan Sujatmiko (2003). Sebaran formasi ini di permukaan adalah di bagian tengah Cekungan Bandung. Litologinya terutama terdiri atas batulempung, batulanau, dan batupasir yang belum kompak dengan umur Holosen. Formasi ini mempunyai hubungan menjemari dengan Formasi Cibeureum bagian atas. Berdasarkan sifat litologinya, formasi ini berperan sebagai akuitar di daerah penelitian (Hutasoit, 2009). Formasi Cikapundung adalah satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah penelitian (Koesoemadinata dan Hartono 1981), dan terdiri atas konglomerat dan breksi kompak, tuf, dan lava andesit. Umur formasi ini diperkirakan Plistosen Awal. Kekompakan litologi penyusun formasi ini dapat digunakan sebagai salah satu pembeda dengan Formasi Cibeureum, serta dasar untuk menentukan peran formasi ini sebagai batuan dasar hidrogeologi. Menurut Silitonga (1973) formasi ini adalah ekuivalen dengan Qvu. Selain formasi ini, berdasarkan sifat litologinya, Qvl, Qvb, Qob, dan Qyl dapat dimasukkan sebagai batuan dasar. Data litologi terperinci Formasi Cibeureum dari log pemboran, seperti yang ditunjukkan oleh Koesoemadinata dan Hartono (1981) serta Hutasoit dan Ramdhan (2006), menunjukkan keberadaan lebih dari satu akuifer dalam formasi tersebut (multi- aquifer system).
  28. 16 Gambar III. 1 Peta Geologi Wilayah Cekungan Bandung (Hutasoit,

    2009) III.2 Kegempaan di Cekungan Airtanah Bandung Cekungan Bandung yang terletak di tengah-tengah Jawa Barat mungkin tidak akan terkena secara langsung bahaya gempa bumi akibat dari subduksi Lempeng Indo-Australia terhadap Lempeng Eurasia. Namun adanya sesar-sesar di sebelah Utara dan (Sesar Lembang) di sebelah Barat (Sesar Cimandiri) mempengaruhi tingkat bahaya kegempaan di daerah Bandung. Karakterisasi sumber-sumber gempabumi melalui penentuan nilai b dapat menunjukkan tingkat frekuensi kejadian gempabumi. Tabel III. 1 merupakan Sumber-sumber gempa pada daerah Cekungan Bandung yang terbagi menjadi beberapa zona. Daerah cekungan
  29. 17 Bandung memiliki frekuensi gempa yang tergolong sedang yang ditunjukan

    oleh nilai b 0.89. Gempa-gempa yang disebabkan oleh aktifitas sesar-sesar di sekitar cekungan Bandung memiliki frekuensi kejadian lebih besar bila dibandingkan dengan sumber gempa lain, hal ini ditunjukan dengan nilai b 0.55 (Galih dkk, 2008). Tabel III. 1 Zona Episenter dan Beberapa Parameter Kegempaan (Galih dkk, 2008) Zona Episenter Jumlah Gempa 1973 - 2008 Magnituda Maksimum 1973 - 2008 Nilai b Keseluruhan daerah penelitian 1. Zona Penunjaman Dalam 2. Zona Penunjaman Menengah 3. Zona Penunjaman Dangkal 4. Zona Sesar 547 29 419 57 42 7.5 7.5 6.8 6.1 5.8 0.89 0.28 0.51 0.19 0.55 Secara historis, Sesar Lembang dapat menyebabkan gempa dengan instensitas 6.2 Mw (Daryono dkk, 2019). Sedangkan pada beberapa gempa terkini yang berasal dari Sesar Lembang pada umumnya memiliki intensitas gempa yang rendah, sekitar 2.8-2.9 Mw (Nugraha dkk, 2019), dan dikhawatirkan akan terjadi gempa yang besar dari Sesar Lembang. Potensi gempa yang berasal dari Sesar Lembang dapat mencapai 6.5-7.0 Mw (Daryono dkk, 2019); 6.6 Mw (Irsyam dkk, 2010) berdasarkan mekanisme sesar geser dengan potensi PGA sekitar 0.26 gal (Handayani dkk, 2009). Karakteristik Sesar Lembang yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel III. 2. Parameter yang dibutuhkan yaitu mekanismes sesar (sesar geser), dip (90), tebal patahan (15 km) dan jarak patahan terhadap lokasi penelitian (10 km). Parameter ini akan digunakan untuk menghitung PGA dan PSA dengan persamaan Boore dan Atkinson (2008), Campbell dan Bozorgnia (2008) dan Chio dan Young (2008). Intensitas gempa yang digunakan yaitu 6.6 Mw dan 7.2 Mw, dengan sumber gempa dari Sesar Lembang.
  30. 18 Tabel III. 2 Parameter Patahan di Pulau Jawa (Irsyam

    dkk, 2010) III.3 Cekungan Air Tanah Bandung Sebuah tinjauan singkat dari CAT Bandung termasuk geologi, hidrostratigrafi dan hidrogeologi diberikan dalam Widodo (2021). Sistem aliran airtanah secara vertikal dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: sistem aliran airtanah lokal, menengah dan regional (Delinom dan Suridiana, 2010). Berdasarkan kedua referensi ini, model lapisan batas airtanah pada penelitian ini membentuk sebuah sistem CAT Bandung multi-akuifer seperti yang terlihat pada Gambar III. 2. Akuifer bebas bagian atas dapat dianggap sebagai sistem aliran airtanah lokal, sedangkan akuifer semi-tertekan bagian tengah sebagai sistem aliran airtanah menengah dan akuifer semi-tertekan bagian bawah sebagai sistem aliran airtanah regional. Pada Gambar III. 2 dan Tabel III. 3, terdapat tiga profil tanah, yaitu batupasir, batulempung dan batuan dasar. Terdapat dua akuitar yang merupakan batulempung dan tiga akuifer yang merupakan batupasir. Akuifer paling atas merupakan akuifer bebas dengan muka airtanah terletak di 10 meter di bawah permukan tanah. Akuifer yang terletak di tengah dan akuifer yang paling dalam merupakan akuifer semi-tertekan, yang dibatasi dengan akuitar pada tiap akuifer. Batuan dasar terletak pada kedalaman 180 meter di bawah permukaan tanah, yang merupakan batas paling bawah pada model ini.
  31. 19 Gambar III. 2 Model Batas Lapisan Airtanah Multi-akuifer pada

    CAT Bandung Tabel III. 3 Profil dan Parameter Lapisan Pembawa Airtanah Profil Lapisan Lapisan Ketebalan Berat Jenis Vs (m) (kN/m3) (m/s) Akuifer bebas (batupasir) 1 - 10 40 19.5 500 Akuitar (batulempung) 11 - 12 10 22 600 Akuifer semi-tertekan (batupasir) 13 - 20 40 19.5 500 Akuitar (batulempung) 21 - 22 10 22 600 Akuifer tertekan (batupasir) 23 - 37 80 19.5 500 Batuandasar (formasi cikapundung) 38 - … 24.52 2500 III.4 Model Lapisan Tanah Terdapat empat model lapisan tanah yang terdapat di dalam CAT Bandung berdasarkan Desiani dan Rahardjo (2017) dan Tohari dkk (2015). Model lapisan tanah pada penelitian ini terdiri dari kawasan Gedabage 1, Gedebage 2, Rancaekek dan Solokanjeruk. Tabel III. 4, Tabel III. 5, Tabel III. 6 dan Tabel III. 7 merupakan model lapisan yang digunakan untuk menggambarkan model lapisan tanah di CAT Bandung.
  32. 20 Untuk model lapisan tanah Gedebage 1 (Desiani dan Rahardjo,

    2017) dapat dilihat pada Gambar III. 3 dan Tabel III. 4. Lapisan dengan litologi paling dalam yang digunakan pada model ini, seperti pada area 4. Pada model sedalam 80 meter ini, terdapat empat lapisan dengan litologi berturut-turut: lempung lunak (32 m), batupasir (6 m), lempung sedang (8m) dan lempung kaku (34 m). Gambar III. 3 Soil Profile 1 wilayah Gedebage 1 (Desiani dan Rahardjo, 2017) Tabel III. 4 Soil Profile 1 wilayah Gedebage 1 (Desiani dan Rahardjo, 2017) Litologi Lapisan Ketebalan (m) lempung lunak 1-22 32 batupasir 23-24 6 lempung sedang 25-28 8 lempung kaku 29-42 34 Untuk tiga model lapisan tanah selanjutnya mengambil referensi dari Tohari dkk (2015), seperti yang dapat dilihat pada Gambar III. 4. Model lapisan yang digunakan pada penelitian ini yaitu kawasan Gedebage, Rancaekek dan Solokanjeruk. Terdapat lima lapisan tanah yang terdiri dari lempung lunak- medium, batupasir padat, lempung kaku-sangat kaku, batupasir padat-sangat padat dan breksi vulkanik sebagai batuan dasar.
  33. 21 Gambar III. 4 Soil Profile wilayah Gedebage 2, Rancaekek

    dan Solokanjeruk (Tohari dkk, 2015) Model lapisan tanah Gedebage 2 (Tohari dkk, 2015) dapat dilihat pada Gambar III. 4 dan Tabel III.5. Model ini terdiri dari litologi lempung dan batupasir sedalam 40 meter. Litologi pada model lapisan tanah Gedebage 2 terdiri dari lempung lunak (20 m), lempung padat (5 m), lempung lunak (7 m), batupasir medium (2.5 m) dan lempung medium-kaku (5.5 m). Model lapisan tanah Rancaekek (Tohari dkk, 2015) dapat dilihat pada Gambar III. 4 dan Tabel III. 6. Model ini terdiri dari litologi lempung dan batupasir sedalam 196 meter, dengan breksi vulkanik sebagai batuan dasar. Litologi pada model lapisan tanah Rancaekek secara berturut-turut terdiri dari lempung lunak (12 m), lempung medium-kaku (24 m), lempung padat (2 m), batupasir (5 m) dan lempung pasiran (55 m). Model lapisan tanah Solokanjeruk (Tohari dkk, 2015) dapat dilihat pada Gambar III. 4 dan Tabel III. 7. Model ini terdiri dari litologi lempung dan batupasir sedalam 70 meter, dengan breksi vulkanik sebagai batuan dasar. Litologi pada model lapisan tanah Solokanjeruk secara berturut-turut terdiri dari lempung lunak
  34. 22 (11 m), lempung medium (23.5 m), batupasir (3.5 m),

    batupasir sedang-kasar (8 m), lempung tipis-padat (2.5 m), batupasir padat (8.5 m), lempung medium-kaku (5 m) dan batupasir (8m). Tabel III. 5 Soil Profile 2 wilayah Gedebage 2 (Tohari dkk, 2015) Litologi Lapisan Ketebalan (m) lempung lunak 1-8 12 lempung lunak 9-14 8 lempung padat 15 2 lempung padat 16-17 3 lempung lunak 18 7 batupasir medium 22-22 2.5 lempung medium-kaku 23-25 5.5 Tabel III. 6 Soil Profile 3 wilayah Rancaekek (Tohari dkk, 2015) Litologi Lapisan Ketebalan (m) lempung lunak 1-8 12 lempung medium-kaku 9-14 11 lempung medium-kaku 15-21 13 lempung padat 22 2 batupasir 23-24 5 lempung pasiran 25-52 55 breksi 52-… Tabel III. 7 Soil Profile 4 wilayah Solokanjeruk (Tohari dkk, 2015) Litologi Lapisan Ketebalan (m) lempung lunak 1-8 11 lempung medium 9-20 23.5 batupasir 21- 3.5 batupasir sedang-kasar 22-24 8 lempung tipis padat 25- 2.5 batupasir padat 26-28 8.5 lempung medium-kaku 29-30 5 batupasir 31-33 8 breksi 34-…
  35. 23 III.5 Sifat Fisik Tanah Parameter sifat fisik lapisan tanah

    yang dibutuhkan pada profil tiap lapisan, seperti berat jenis (kN/m3), Vs (m/s), Plasticity Index (PI) dan Overconsolidation Ratio (OCR). Parameter-parameter ini digunakan pada pada setiap lapisan, dimana dibagi menjadi lapisan akuifer dan akuitar. Lapisan akuifer disini merupakan batuanpasir dan lempung sebagai akuitar. Parameter dari berat jenis yang digunakan untuk pengolahan model dari batas lapisan airtanah (Gambar III. 1) dan empat model lapisan lapisan tanah CAT Bandung (Tabel III. 3 - Tabel III. 6), direferensikan dari Bourbie dkk (1986). Sedangkan Vs yang digunakan untuk pengolahan Model dari Batas Lapisan Airtanah CAT Bandung berdasarkan dari Bourbie dkk (1986), dan untuk empat model lapisan tanah di CAT Bandung mengambil referensi dari Tohari dkk (2015). Khusus untuk lempung, diperlukan sifat-sifat Plasticity Index (PI) dan Overconsolidation Ratio (OCR). Pada model batas lapisan airtanah CAT Bandung (Gambar III. 1) dimana memiliki nilai PI yang tinggi dengan nilai maksimal 48% (Khairullah dkk, 2019). Nilai PI dan OCR dalam empat model lapisan di CAT Bandung (Tabel III. 3 - Tabel III. 6) mengacu pada Tohari dkk (2015). Untuk model dari Darendeli (2001), nilai OCR maksimal yaitu 8.
  36. 24 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Data Gerakan Tanah

    Terdapat tiga data gerakan tanah yang digunakan (Tabel II. 1), dimana ketiga data ini memiliki karakteristik yang sesuai dengan sumber gempa dari Sesar Lembang. Gambar IV.1 merupakan tampilan dari SHAKE2000 yang digunakan untuk menghitung Peak Ground Acceleration (PGA) dan 5%-Damped Pseudo- Absolute-Acceleration Spectra (PSA) yang nantinya dijadikan sebagai target penskalaan ulang. Persamaan yang digunakan pada perhitungan ini yaitu Boore dan Atkinson (2008), Campbell dan Bozorgnia (2008), dan Chio dan Young (2008). Paramter yang diperlukan yaitu karakteristik dari sumber gempa (Sesar Lembang) seperti keterangan sumber gempa dan mekanisme Sesar Lembang. Untuk magnitudo sumber gempa, disesuaikan dengan target penskalaan ulang yang diinginkan, 7.2 Mw dan 6.6 Mw. Gambar IV. 1 Penghitungan Data Gerakan Tanah Untuk Target Penskalaan Ulang
  37. 25 (A) Sebelum Penskalaan Ulang 7.2 Mw (B) Setelah Penskalaan

    Ulang 7.2 Mw (C) Sebelum Penskalaan Ulang 6.6 Mw (D) Sebelum Penskalaan Ulang 6.6 Mw Gambar IV. 2 Penskalaan Ulang Data Gerakan Tanah Hasil dari perhitungan ditampilkan dalam bentuk kurva, dimana pada pengolahan selanjutnya kurva ini akan menjadi target penskalaan ulang. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar IV. 2, dimana penskalaan ulang data gerakan tanah dilakukan untuk menyesuaikan dengan intensitas gempa pada referensi. Garis berwarna merah merupakan kurva target penskalaan, dan garis berwarna biru merupakan kurva nilai rata-rata data gerakan tanah. Sebelum dilakakukan penskalaan ke 7.2 Mw (A), kurva nilai rata-rata gerakan tanah perlu dilakukan penskalaan sebesar 2.5 hingga mendekati target (B). Begitu juga dengan sebelum penskalaan ke 6.6 Mw (C), dilakukan penskalaan sebesar 2.15 hingga mendeketai target (D). Begitupun seterusnya hingga setiap data dihitung disertai dengan batas bawah terjadinya likuefaksi. Hasil pengolahan data berupa kurva percepatan
  38. 26 (acceleration), tegangan (stress), renggangan (strain) dan tekanan air pori

    (pore water pressure) terhadap kedalaman untuk model lapisan batas airtanah CAT Bandung. Terdapat juga hasil perhitungan untuk variasi model lapisan yang terdapat dalam CAT Bandung. IV.2 Variasi Data Gerakan Tanah Respon dinamis dari lapisan airtanah terhadap variasi dari data gerakan tanah didiskripsikan dalam kurva kedalaman terhadap beberapa parameter seperti, (A) peak ground acceleration (PGA) pada setiap kedalaman (gal); (B) peak normalized shear stress (NSSs) pada setiap kedalaman (MPa); (C) peak shear strain (SSt) pada setiap kedalaman (%) dan (D) NPWP pada setiap kedalaman. Dibawah ini merupakan kurva yang menggambarkan respon dinamis dari lapisan batas airtanah dari data gerasakan tanah 7.2 Mw (Gambar IV. 3, Gambar IV. 4 dan Gambar IV. 5) untuk masing-masing tiga gerakan tanah. Data gerakan tanah 6.6 Mw (Gambar IV. 6, Gambar IV. 7 dan Gambar IV. 8) untuk masing- masing tiga gerakan tanah. Dan untuk Gambar IV. 9, Gambar IV. 10 dan Gambar IV. 11 menggambarkan respon dinamis dari lapisan batas airtanah dengan intensitas data gerakan tanah yang paling rendah untuk masing-masing data gerakan tanah. A. PGA (gal) B. NSSs (MPa)
  39. 27 C. SSt (%) D. NPWP Gambar IV. 3 Respon

    Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 7.2 Mw (Hector 1999) A. PGA (gal) B. NSSs (MPa) C. SSt (%) D. NPWP Gambar IV. 4 Respon Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 7.2 Mw (Joshua Tree 1992) A. PGA (gal) B. NSSs (MPa)
  40. 28 C. SSt (%) D. NPWP Gambar IV. 5 Respon

    Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 7.2 Mw (Moronggo Valley 1992) A. PGA (gal) B. NSSs (MPa) C. SSt (%) D. NPWP Gambar IV. 6 Respon Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 6.6 Mw (Hector 1999) A. PGA (gal) B. NSSs (MPa)
  41. 29 C. SSt (%) D. NPWP Gambar IV. 7 Respon

    Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 6.6 Mw (Joshua Tree 1992) A. PGA (gal) B. NSSs (MPa) C. SSt (%) D. NPWP Gambar IV. 8 Respon Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 6.6 Mw (Moronggo Valley 1992) A. PGA (gal) B. NSSs (MPa)
  42. 30 C. SSt (%) D. NPWP Gambar IV. 9 Respon

    Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 6.8 Mw (Hector 1999) A. PGA (gal) B. NSSs (MPa) C. SSt (%) D. NPWP Gambar IV. 10 Respon Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 5.5 Mw (Joshua Tree 1992) A. PGA (gal) B. NSSs (MPa)
  43. 31 C. SSt (%) D. NPWP Gambar IV. 11 Respon

    Dinamis Gerakan Tanah Intensitas 6.2 Mw (Moronggo Valley 1992) Respon dinamis dari lapisan batas airtanah terhadap variasi data gerakan tanah memiliki pola yang hampir sama. PGA dari lapisan yang dekat dengan batuan dasar memiliki nilai yang palling besar dan terus berkurang menuju ke permukaan. Peak normalized shear stress (NSSs) terus bertambah yang berawal dari lapisan dekat batuandasar dan mencapai nilai maksimum pada lapisan di tengah (akuifer semi-tertekan) dan nilainya terus berkurang ke arah permukaan. Nilai dari peak shear strain (SSt) terus berkurang dari batuandasar hingga menuju permukaan. SSt menunjukkan lonjakan yang diduga kuat terkait dengan lonjakan NPWP di lapisan tersebut. NPWP pada akuifer memiliki nilai tertinggi pada lapisan dekat batuandasar dan terus berkurang ke arah permukaan atau dekat batas akuitar. Nilai dari NPWP menunjukan nilai yang sangat rendah pada lapisan akuitar. Likuefaksi pada umumnya terjadi pada lapisan dekat batuandasar, dimana pada kurva ditunjukan dengan garis berwarna merah. Data gerakan tanah dengan intensitas 7.2 Mw pada umumnya menyebabkan likuefaksi pada lapisan dekat permukaan setelah beberapa detik setelahnya. Likuefaksi pada kurva ditunjukan pada garis putus-putus berwarna merah dekat dengan batuandasar (Gambar IV. 3, Gambar IV. 4 dan Gambar IV. 5). Likuefaksi terjadi pada lapisan 37 setelah 15.58 detik terhadap data gerakan Hector 1999 yang dimodifikasi; pada lapisan 37 terjadi likuefaksi seteah 12.9 detik dan lapisan 36 setelah 27.14 detik terhadap gerakan tanah Joshue Tree 1992 yang dimodifikasi; dan lapisan 37 terjadi likuefaksi setelah 19.57 detik dan
  44. 32 lapisan 36 setelah 20.81 detik terhadap data gerakan tanah

    Moronggo Valley 1992 yang dimodifikasi. Gerakan tanah 6.6 Mw dari data Hector 1999 yang dimodifikasi tidak terjadi likuefaksi pada lapisan batas airtanah Gambar IV. 6. Sedangkan, gempa dengan intensitas 6.6 Mw dari data gerakan tanah Joshue Tree 1992 dan Moronggo Valley 1992 terdapat likuefaksi pada lapisan dekat dengan batuandasar (Gambar IV. 7 dan Gambar IV. 8). Likuefaksi terjadi pada lapisan 37 setelah 19.34 detik dan lapisan 36 setelah 28.9 detik terhadap data gerakan tanah Joshua Tree 1992 yang dimodifikasi; dan pada lapisan 37 terjadi likuefaksi pada lapisan 37 setelah 27.3 detik dan lapisan 36 setelah 29.24 detik terhadap data gerakan tanah Moronggo Valley 1992 yang dimodifikasi. Intensitas gerakan tanah minumum yang dapat menyebabkan likuefaksi pada lapisan tanah dekat batuandasar, yaitu gerakan tanah dengan intensitas 6.8 Mw untuk data gerakan tanah Hector 1999 yang dimodifikasi terjadi setelah 22.89 detik (Gambar IV. 9); 5.5 Mw dari data gerakan tanah Joshue Tree 1992 terjadi setelah 31.26 detik (Gambar IV. 10); dan 6.2 Mw dari data gerakan tanah Moronggo Valley 1992 yang terjadi setellah 43.78 detik (Gambar IV. 11).
  45. 33 Gambar IV. 12 Potensi Likuefaksi berdasarkan Variasi Data Gerakan

    Tanah pada CAT Bandung Gambar IV. 12 diatas merupakan ringkasan dari ketiga data gerakan tanah untuk potensi likuefaksi di dekat batuandasar pada lapisan batas airtanah. Seluruh data gerakan tanah yang digunakan menandakan adanya likuefaksi dengan intensitas mulai dari 6.8 Mw. Likuefaksi terjadi pada lapisan batas airtanah, dimana untuk data gerakan tanah Hector 1999 yang dimodifikasi terjadi mulai dari intensitas 6.8 Mw; data gerakan tanah Joshue Tree 1992 yang dimodifikasi mulai dari intensitas 5.5 Mw; dan data gerakan tanah Moronggo Valley 1992 yang dimodifikasi mulai dari intensitas 6.2 Mw. Gerakan tanah dengan 7.2 Mw diperkirakan menghasilkan variasi PGA dengan rentang 0.15-0.25 gal pada permukaan tanah dan 0.35-0.60 gal di dekat batuan dasar; gerakan tanah intensitas 6.8 Mw sebesar 0.15 gal pada permukaan tanah dan 0.58 gal di dekat batuan dasar; gerakan tanah intensitas 6.6 Mw dengan rentang 0.15-0.24 gal pada permukaan tanah dan 0.31-0.55 gal di dekat batuan dasar; gerakan tanah intensitas 5.5 Mw sebesar 0.15 gal pada permukaan tanah dan 0.50 gal di dekat batuan dasar; gerakan tanah intensitas; data gerakan tanah dengan intensitas 5.2 Mw sebesar 0.15 gal pada permukaan tanah dan 0.28 gal di dekat batuan dasar. Pada umumnya, dapat disimpulkan bahwa eksitasi gerakan
  46. 34 tanah dari batuan dasar melemah saat melewati endapan aluvial/tanah

    ke permukaan tanah. Gerakan tanah dengan intensitas diatas 5.0 Mw diperkirakan dapat menghasilkan nilai PGA minimum pada permukaan tanah sebesar 0.15 gal. gerakan tanah pada rentang 6.6-7.2 Mw dapat menghasilkan PGA pada permukaan tanah direntang 0.15-0.25 gal. Hasil ini kurang lebih sama dengan yang di estimasi oleh Handayani dkk, 2009 yang menyatakan bahwa gempa pada Sesar Lembang dapat menghasilkan PGA pada permukaan tanah hingga 0.26 gal. Kurva NSSs mencapai nilai maksimumnya kira-kira pada lapisan bantalan Gw yang menyusun akuifer semi-tertekan. Kondisi ini dapat memicu kegagalan pada kedalaman. Lonjakan SSt terjadi atau berasosiasi dengan akuifer yang terletak di antara akuifer bebas atas dan akuifer semi-tertekan serta antara akuifer semi- tertekan di tengah dan akuifer tertekan di paling bawah. Lonjakan SSt diperkirakan terkait dengan lonjakan NPWP yang terjadi di dekat akuitar karena disipasi tekanan air pori berlebih yang terbentuk di dekat akuitar karena konduktivitas hidrolik akuitar lebih kecil daripada konduktivitas hidrolik akuifer. Peningkatan NPWP di dekat akuitar ini kemudian mengakibatkan peningkatan nilai NSSs yang kemudian menyebabkan peningkatan SSt pada lapisan ini. Regangan geser yang lebih besar dari 1% dapat menyebabkan deformasi permanen (Manga dan Wang, 2015). Jika hal ini terjadi pada akuitar dapat menyebabkan deformasi permanen pada akuitar, yang akan mengakibatkan terbentuknya sambungan baru atau bahkan kegagalan pada akuitar, yang dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas/konduktivitas hidrolik pada akuitar (Wang, 2007; Elkhoury, 2011; dan Geballe, 2011). Selanjutnya hal ini dapat menyebabkan interkoneksi hidraulik langsung antara ketiga akuifer yang terjadi melalui mekanisme kebocoran akuifer melalui akuitar akibat perbedaan head/tekanan antar akuifer (Ortoleva, 1994). IV.3 Variasi Model Lapisan
  47. 35 Untuk variasi model lapisan, terdapat dua data ground motion

    yang digunakan (Hector 1999 dan Moronggo Valley 1992) dimana kedua data ini memiliki karakteristik yang sesuai dengan sumber gempa. Hasil pengolahan data ini berupa normalized pore water pressure (NPWP) terhadap kedalaman pada setiap model lapisan tanah. Di bawah ini diberikan kurva yang menggambarkan tekanan air pori (pore water pressure) dari lapisan CAT Bandung pada setiap soil profile untuk kedua data ground motion. Untuk soil profile 1, yaitu kawasan Gedebage 1 (Desiani dan Rahardjo, 2017), dengan intensitas gempa 6.6Mw (Gambar IV. 13) dan 7.2Mw (Gambar IV. 14). Soil profile 2, yaitu kawasan Gedebage 2 (Tohari dkk, 2015), dengan intensitas gempa 6.6Mw (Gambar IV. 15) dan 7.2Mw (Gambar IV. 16). Soil profile 3, yaitu kawasan Rancaekek (Tohari dkk, 2015), dengan intensitas gempa 6.6Mw (Gambar IV. 17) dan 7.2Mw (Gambar IV. 18). Soil profile 4, yaitu kawasan Solokanjeruk (Tohari dkk, 2015), dengan intensitas gempa 6.6Mw (Gambar IV. 19) dan 7.2Mw (Gambar IV. 20). A. Hector 1999 B. Moronggo Valley 1992 Gambar IV. 13 NPWP untuk Soil Profile 1 dengan Intensitas 6.6 Mw
  48. 36 A. Hector 1999 B. Moronggo Valley 1992 Gambar IV.

    14 NPWP untuk Soil Profile 1 dengan Intensitas 7.2 Mw A. Hector 1999 B. Moronggo Valley 1992 Gambar IV. 15 NPWP untuk Soil Profile 2 dengan Intensitas 6.6 Mw A. Hector 1999 B. Moronggo Valley 1992 Gambar IV. 16 NPWP untuk Soil Profile 2 dengan Intensitas 7.2 Mw
  49. 37 A. Hector 1999 B. Moronggo Valley 1992 Gambar IV.

    17 NPWP untuk Soil Profile 3 dengan Intensitas 6.6 Mw A. Hector 1999 B. Moronggo Valley 1992 Gambar IV. 18 NPWP untuk Soil Profile 3 dengan Intensitas 7.2 Mw A. Hector 1999 B. Moronggo Valley 1992 Gambar IV. 19 NPWP untuk Soil Profile 4 dengan Intensitas 6.6 Mw
  50. 38 A. Hector 1999 B. Moronggo Valley 1992 Gambar IV.

    20 NPWP untuk Soil Profile 4 dengan Intensitas 7.2 Mw Respon dinamis dari 4 model lapisan tanah (soil profile) pada CAT Bandung akibat variasi gerakan tanah memiliki pola yang hampir sama, yang dapat digambarkan pada normalized pore water pressure (NPWP). Nilai dari NPWP pada lempung sangat kecil, dan terjadi lonjakan pada lapisan batuan pasir (akuifer). Likuefaksi ditunjukan oleh garis merah putus-putus pada lapisan akuifer (Gambar IV. 12 - Gambar IV. 19). Untuk soil profile 1 (Gedebage 1), nilai dari tekanan air pori akibat gempa dengan intensitas 6.6 Mw berdasarkan data ground motion Hector 1999 (kiri) dan Moronggo Valley 1992 (kanan) dapat dilihat pada Gambar IV. 12. Likuefaksi terjadi pada lapisan 24 setelah 15.5 detik dan lapisan 25 setelah 12.5 detik berdasarkan ground motion Hector 1999. Sedangkan berdasarkan ground motion Moronggo Valley 1992, likuefaksi terjadi pada lapisan 24 setelah 17.8 detik dan lapisan 25 setelah 16.4 detik. Selanjutnya untuk gempa dengan intensitas 7.2 Mw berdasarkan data ground motion Hector 1999 dan Moronggo Valley 1992 dapat dilihat pada Gambar IV. 13. Likuefaksi terjadi pada lapisan 24 setelah 13.4 detik dan lapisan 25 setelah 10.6 detik berdasarkan ground motion Hector 1999. Sedangkan berdasarkan ground motion Moronggo Valley 1992, likuefaksi terjadi pada lapisan 24 setelah 16.4 detik dan lapisan 25 setelah 15.4 detik.
  51. 39 Untuk soil profile 2 (Gedebage 2), nilai dari tekanan

    air pori akibat gempa dengan intensitas 6.6 Mw berdasarkan data ground motion Hector 1999 (kiri) dan Moronggo Valley 1992 (kanan) dapat dilihat pada Gambar IV. 14. Likuefaksi terjadi pada lapisan 22 setelah 8.5 detik berdasarkan ground motion Hector 1999. Sedangkan berdasarkan ground motion Moronggo Valley 1992, likuefaksi terjadi pada lapisan 22 setelah 10.4 detik. Selanjutnya untuk gempa dengan intensitas 7.2 Mw berdasarkan data ground motion Hector 1999 dan Moronggo Valley 1992 dapat dilihat pada Gambar IV. 15. Likuefaksi terjadi pada lapisan 22 setelah 10.4 detik berdasarkan ground motion Hector 1999. Sedangkan berdasarkan ground motion Moronggo Valley 1992, likuefaksi terjadi pada lapisan 22 setelah 10.3 detik. Untuk soil profile 3 (Rancaekek), nilai dari tekanan air pori akibat gempa dengan intensitas 6.6 Mw berdasarkan data ground motion Hector 1999 (kiri) dan Moronggo Valley 1992 (kanan) dapat dilihat pada Gambar IV. 16. Likuefaksi terjadi pada lapisan 23 setelah 15.5 detik dan lapisan 24 setelah 12.9 detik berdasarkan ground motion Hector 1999. Sedangkan berdasarkan ground motion Moronggo Valley 1992, likuefaksi terjadi pada lapisan 23 setelah 18.3 detik dan lapisan 24 setelah 18.3 detik. Selanjutnya untuk gempa dengan intensitas 7.2 Mw berdasarkan data ground motion Hector 1999 dan Moronggo Valley 1992 dapat dilihat pada Gambar IV. 17. Likuefaksi terjadi pada lapisan 23 setelah 12.9 detik dan lapisan 24 setelah 11.0 detik berdasarkan ground motion Hector 1999. Sedangkan berdasarkan ground motion Moronggo Valley 1992, likuefaksi terjadi pada lapisan 23 setelah 16.4 detik dan lapisan 24 setelah 16.4 detik. Untuk soil profile 4 (Solokanjeruk), nilai dari tekanan air pori akibat gempa dengan intensitas 6.6 Mw berdasarkan data ground motion Hector 1999 (kiri) dan Moronggo Valley 1992 (kanan) dapat dilihat pada Gambar IV. 18. Likuefaksi terjadi pada lapisan 33 setelah 8.1 detik dan lapisan 34 setelah 8.21 detik berdasarkan ground motion Hector 1999. Sedangkan berdasarkan ground motion Moronggo Valley 1992, likuefaksi terjadi pada lapisan 32 setelah 32.8 detik, lapisan 33 setelah 9.6 detik dan lapisan 34 setelah 9.6 detik. Selanjutnya untuk
  52. 40 gempa dengan intensitas 7.2 Mw berdasarkan data ground motion

    Hector 1999 dan Moronggo Valley 1992 dapat dilihat pada Gambar IV. 19. Likuefaksi terjadi pada lapisan 33 setelah 6.44 detik dan lapisan 34 setelah 8.2 detik berdasarkan ground motion Hector 1999. Sedangkan berdasarkan ground motion Moronggo Valley 1992, likuefaksi terjadi pada lapisan 32 setelah 19.6 detik, lapisan 33 setelah 9.62 detik dan lapisan 34 setelah 9.7 detik. Tabel IV. 1 dan Tabel IV. 2 di bawah ini memberikan ringkasan pengaruh gerakan tanah (ground motion) untuk 4 profil lapisan tanah di CAT Bandung. Pada kedua data ground motion terjadi adanya likuefaksi dengan intensitas gempa 6.6 Mw dan 7.2 Mw pada seluruh model lapisan tanah. Likuefaksi terjadi pada kedalaman dan lapisan yang berbeda dikarenakan letak akuifer pada setiap profil lapisan tanah berbeda. Terdapat variasi waktu terjadinya likuefaksi pada setiap model lapisan tanah dan variasi nilai PGA pada permukaan dan di dekat batuan dasar. Gerakan tanah (ground motion) dengan intensitas gempa 6.6 Mw pada Gedebage 1 menghasilkan variasi PGA sebesar 0.17-0.28 gal di permukaan tanah dan 0.4- 0.6 gal di dekat batuan dasar. Sedangkan pada model lapisan tanah yang sama, dengan intensitas gempa 7.2 Mw menghasilkan variasi PGA sebesar 0.17-0.20 gal di permukaan tanah dan 0.48-0.6 gal di dekat batuan dasar. Untuk Gedebage 2 pada intensitas gempa 6.6 Mw menghasilkan variasi PGA sebesar 0.23-0.24 gal di permukaan tanah dan 0.46-0.5 gal di dekat batuan dasar. Sedangkan pada model lapisan tanah yang sama, gempa dengan intensitas 7.2 Mw menghasilkan variasi PGA sebesar 0.24-0.28 gal di dekat permukaan tanah dan 0.51-0.69 gal di dekat batuan dasar. Selanjutnya pada Rancaekek, gempa dengan intensitas 6.6 Mw menghasilkan variasi PGA sebesar 0.16-0.17 gal di permukaan dan 0.39-0.51 gal di dekat batuan dasar. Dan untuk gempa dengan intensitas 7.2 Mw dengan model lapisan yang sama, variasi nilai PGA sebesar 0.167-0.175 gal pada permukaan tanah dan 0.39-0.6 gal di dekat batuan dasar. Pada model lapisan tanah keempat, yaitu Solokanjeruk, dengan intensitas gempa 6.6 Mw menghasilkan variasi nilai PGA sebesar 0.11-0.17 gal di permukaan tanah dan 0.5-0.64 di dekat batuan dasar.
  53. 41 Tabel IV. 1 Hasil Perhitungan PGA dan Likuefaksi Intensitas

    Gempa 6.6 Mw. Soil Profile PGA (g) Waktu (s) Hector Morongo Valley Ket Hector Morongo Valley Ket Gedebage 1 0.17 - 0.18 0.19-0.28 permukaan 12.5 16.4 Lapisan 25 0.5 - 0.6 0.4-0.5 dasar 15.5 17.8 Lapisan 24 Gedebage 2 0.23 - 0.24 0.23-0.24 permukaan 8.5 10.4 Lapisan 22 0.46- 5.0 0.46-5.0 dasar Rancaekek 0.162 - 0.168 0.16-0.17 permukaan 12.9 18.3 Lapisan 24 0.46 - 0.51 0.39-0.41 dasar 15.5 18.3 Lapisan 23 Solokanjeruk 0.11 - 0.15 0.14-0.17 permukaan 8.21 9.6 Lapisan 34 0.33 - 0.42 0.35-0.40 dasar 8.1 9.6 Lapisan 33 - 32.8 Lapisan 32 Tabel IV. 2 Hasil Perhitungan PGA dan Likuefaksi Intensitas Gempa 7.2 Mw Soil Profile PGA (g) Waktu (s) Hector Morongo Valley Ket Hector Morongo Valley Ket Gedebage 1 0.17-0.18 0.19-20 permukaan 10.6 15.4 Lapisan 25 0.58-0.6 0.48-0.51 dasar 13.4 16.4 Lapisan 24 Gedebage 2 0.26-0.28 0.24-0.28 permukaan 10.4 10.3 Lapisan 22 0.69-0.82 0.51-0.56 dasar Rancaekek 0.167-0.168 0.174-0.175 permukaan 11.0 16.4 Lapisan 24 0.5-0.6 0.39-0.47 dasar 12.9 16.4 Lapisan 23 Solokanjeruk 0.149-0.179 0.149-0.179 permukaan 8.22 9.7 Lapisan 34 0.5-0.64 0.5-0.64 dasar 6.44 9.6 Lapisan 33 - 19.6 Lapisan 32 8..18 - Lapisan 28 Seperti dengan variasi gerakan tanah, hasil ini kurang lebih sama seperti yang diperkirakan oleh (Handayani dkk, 2009) yang menyatakan bahwa gempa Sesar Lembang dapat menyebabkan PGA di permukaan tanah hingga 0.26 gal. Secara umum dapat disimpulkan bahwa eksitasi gerakan tanah dari batuan dasar melemah saat melewati endapan aluvial/tanah ke permukaan tanah. Likuefaksi terjadi pada seluruh model lapisan tanah, yang terletak pada lapisan akuifer.
  54. 42 Bab V Kesimpulan dan Saran V.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil

    pengolahan dan pembahsan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Gerakan tanah dengan intensitas gempa mulai dari 6.8 Mw dapat menyebabkan likuefaksi pada lapisan pembawa airtanah CAT Bandung di dekat batuan dasar. 2. Gerakan tanah dengan intensitas 6.6 dan 7.2 Mw dapat menyebabkan likuefaksi di lapisan akuifer pada empat model lapisan tanah di CAT Bandung. 3. Intensitas gempa mempengaruihi waktu terjadinya likuefaksi, dimana semakin besar intensitas gempa, maka waktu terjadinya likuefaksi akan semakin cepat. 4. Lapisan akuifer yang mengalami likuefaksi pada CAT Bandung memiliki respon shear strain lebih dari 1%, sehingga dapat mengakibatkan deformasi permanen pada lapisan pembawa airtanah. V.2 Saran Penelitian ini tidak cukup sampai disini sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan agar lebih komperhensif. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperbaiki atau menambah beberapa hal seperti: 1. Menggunakan data gerakan tanah hasil dari pengukuran di kawasan CAT Bandung. 2. Mengevaluasi kemungkinan terjadinya groundwater expulsion seperti yang terjadi di Gempa Palu tahun 2018.
  55. 43 DAFTAR PUSTAKA Alzwar, M., Akbar, N., dan Bachri, S.

    (1992): Peta Geologi Lembar Garut dan Pameungpeuk, Jawa Barat, Skala 1:100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Anindiya, P.R., Purwanto, M.S., dan Widodo, A. (2017): Identifikasi Percepatan Tanah Maksimum (PGA) dan Kerentanan Tanah Menggunakan Metode Mikrotremor I Jalur Sesar Kendeng, Jurnal Geosaintek, 03, 107-114. Bird, P. (2003): An updated digital model of plate boundaries: Geochemistry, Geophysics, Geosystems, 4, 1027. Boore, D.M. dan Atkinson, G.M. (2008): Ground-Motion Prediction Equations for The Average Horizontal Component of PGA, PGV, and 5%-Damped PSA at Spectral Periods Between 0.01 s and 10.0 s, Earthquake Spectra, 24, 1. Bourbie, T., Coussy, O., dan Zinszner, B. (1986): Acoustic of Porous Media, Editions Technip, Paris, 240. Campbell, K. dan Bozorgnia, Y. (2008): Ground Motion Model for The Geometric Mean Horizontal Component of PGA, PGV, PGD and 5% Damped Linear Elastic Response Spectra For Periods Ranging from 0.01 to 10.0 s, Earthquake Spectra, 24, 1. Chiou, B. dan Youngs, R.R. (2008): A NGA Model for The Average Horizontal Component of Peak Ground Motion and Response Spectra, Earthquake Spectra, 24, 1. Dam, M.A.C., Suparan. P., Nossin, J.J., dan Voskuil, R.P.G.A. (1996): A Chronology for Geomorphological Developments in the Greater Bandung Area, West Java, Indonesia, Journal of S.E. Asian Earth Sciences, 14, 101 – 115. Darendeli, M.B. (2001): Development of a New Family of Normalized Modulus Reduction and Material Damping Curves, Disertasi Ph.D, The University of Texas .
  56. 44 Daryono, M.R., Natawidjaja, D.H., Sapiie, B., dan Cummins P.

    (2019): Earthquake Geology of the Lembang Fault, West Java, Indonesia, Tectonophysics, 751, 180-191. Das, B.M. (1984): Fundamentals of Soil Dynamic, Elservier Science Publishing Co.Inc. New York, USA. Delinom, R.M. dan Suridiana, A. (2010): Groundwater Flow System of Bandung Basin Based on Hydraulic Head, Subsurface Temperature, and Stable Isotopes, Journal of Geological and Mining Research, 20, 55-68. Desiani, A. dan Rahardjo, P.P. (2017): Characterization of Bandung Soft Clay. Electronic Journal of Geotechnical Engineering, 22. 4377-4393. Elkhoury, J.E., Niemeijer, A., Brodsky, E.E., dan Marone, C. (2011): Laboratory Observations of Permeability Enhancement by Fluid Pressure Oscillation of In-Situ Fractured Rock, Jornal of Geophysical Research, 116, B02311. Febriani, Y., Daruwati, I. dan Hatika, R.G. (2013): Analisis Nilai Peak Ground Acceleration dan Indeks Kerentanan Seismik Berdasarkan Data Mikroseismik pada Derah Rawan Gempabumi Di Kota Bengkulu, Jurnal Ilmiah Edu Research, 2, 2. Fulki, A. (2011). Analisis Parameter Gempa, b Value dan PGA di Daerah Papua. Skripsi Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Galih, D.R., Handayani, L., Mulyadi, D., dan Hendriawan, W. (2008): Analisa Bahaya Kegempaan Daerah Cekungan Bandung, Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Puslit Geoteknologi, Bandung. Geballe, Z.M., Wang, C.Y., dan Manga, M. (2011): A Permeability-Change Model for Water Level Changes Triggered by Teleseismic Waves, Geofluids, 11, 302–308. Handayani, L., Mulyadi, D., Wardhana, D.D., dan Nur, W.H. (2009): Peak Ground Acceleration in the Bandung Basin: A Case Study of the Lembang Fault Earthquake, Jurnal Sumber Daya Geologi, 19, 333-337. Hutasoit M.L (2009): Kondisi Permukaan Air Tanah dengan dan tanpa peresapan buatan di daerah Bandung: Hasil Simulasi Numerik, Jurnal Geologi Indonesia, 4, 177-188.
  57. 45 Hutasoit, L.M. dan Ramdhan, A.M. (2006): Recharge Area and

    the Origin of Brackish Water in East Bandung: Result of Exploration Well, Proceedings of International Symposium on Mineral Exploration (ISME) IX, Bandung. Idriss, I.M. dan Sun, J.I. (1992): User's Manual for SHAKE91: A Computer Program for Conducting Equivalent Linear Seismic Response Analyses of Horizontally Layered Soil Deposits, Center for Geotechnical Modeling, Department of Civil and Environmental Engineering, University of California, Davis, California. Irsyam, M.D., Sengara, I.W., Aldiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Natawidjaja, D.H., Kertapati, E., Meilano, I., Suhardjono, Asrurifak, M., dan Ridwan, M. (2010): Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010, Laporan, Tim Revisi Gempa Indonesia. Irwansyah, E. dan Winarko, E. (2012): Zonasi Daerah Bahaya Kegempaan Dengan Pendekatan Peak Ground Acceleration (PGA), Seminar Nasional Informatika 2012, UPN Veteran Yogyakarta. Khoirullah, N., Mufti, I.J., Sophian, I., Yan, T., Iskandarsyah, W.M., dan Muslim, A. (2019): Erosion Potential Based on Erodibility and Plasticity Index data on Cilengkrang, Bandung, West Java, Indonesia, The 2nd International Conference on Smart City Innovation, 396, 012035. Koesoemadinata, R.P. dan Hartono, D. (1981): Stratigrafi dan Sedimentasi Daerah Bandung. Proceedings PIT X Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Bandung, 318 - 336. Kramer dan Steven, L. (1996): Geotechnical Earthquake Engineering. Upper Saddle River, New Jersey 07458: Prantice Hall, Inc. Manga, M. dan Wang, C.Y. (2015): Earthquake Hydrology. University of California Berkeley, Berkeley. Matasovic, N. dan Ordonez, G.A. (2012): DMOD2000: A Computer Program for Seismic Response Analysis of Horizontally Layered Soil Deposits: Earthfill Dams and Solid Waste Landfills, GeoMotions, LLC, Lacey, Washington. Meilano, I., Abidin, H.Z., Andreas, H., Gumilar, I., Sarsito, D., Hanifa, R., Rino, Harjono, H., Kato, T., Kimata, F., dan Fukuda, Y. (2012): Slip Rate
  58. 46 Estimation of the Lembang FaultWest Java from Geodetic Observation.

    Journal of Disaster Research, 7, 12-18. Milson, J., Masson D., Nichols G., Sikumbang N., Dwiyanto B., Parson L., dan Kallagher H. (1992): The Manokwari Trough and The Western End of The New Guinea Trench, Tectonics, 11, 145-153. Novianto, D. dan Supriyono (2012): Pengaruh Perubahan Tegangan Prakonsolidasi Efektif (Ó’c) Pada Penambahan Kapur Terhadap Tanah Lempung, Media Teknik Sipil, 10, 95-101. Nugraha, A.D., Supendi, P., Prabowo, B.S., Rosalia, S., Erlangga, Husni, Y.M., Widiyantoro, S., Puspito, N.T., dan Priyono, A. (2019): The Recent Small Earthquakes Around Lembang Fault, West Java, Bandung, Indonesia. Proceeding of 7th Asian Physics Symposium, IOP Publishing. Ordonez, G.A. (2012): SHAKE2000: A Computer Program for The 1D Analysis of Geotechnical Earthquake Engineering Problems. GeoMotions, LLC, Lacey, Washington. Ortoleva, P.J. (1994): Basin Compartments and Seals, AAPG Memoir, American Association of Petroleum Geologists 61. Purwanto, E. (2008): Nilai Modulus Geser Tanah Berdasarkan Rumus Hardin & Drnevich dan Menard, Media Komunikasi Teknik Sipil, 16, 279-290. Schnabel, P.B., Seed, H.B., Lysmer, J. (1971): Modification of Seismograph Records for the Effect of Local Soil Conditions, Laporan, No. EERC 71-8, University of California, Berkeley. Schnabel, P.B., Lysmer, J., Seed, H.B. (1972): SHAKE: A Computer Program for Earthquake Response Analysis of Horizontally Layered Soils, Laporan, No. UCBEERC 71-12, University of California, Berkeley. Schnabel, P.B. (1973): Effects of Local Geology and Distance from Source on Earthquake Ground Motions, Thesis Ph.D, University of California, Berkeley. Silitonga, P.H. (1973): Peta Geologi Lembar Bandung, Jawa Barat, Skala 1:100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Sujatmiko (2003): Peta Geologi Lembar Cianjur, Jawa Barat, Skala 1 : 100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
  59. 47 Terzaghi, K., dan Peck, R. B. (1948): Soil mechanics

    in engineering practice, John Wiley and Sons Inc, New York. Tohari, A., Soebowo, E., Wibawa, S., dan Jaya, A. (2015): Kondisi Geologi Teknik Bawah Permukaan Wilayah Cekungan Bandung (Lintasan Gedebage–Bojongsoang–Solokanjeruk–Majalaya). Proseding Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015, 83-93. Villaverde, R. (2009): Fundamental Concepts of Earthquake Engineering, CRC Press-Taylor and Francis Group, Boca Raton. Florida, Amerika Serikat. Wang, C.Y. (2007): Liquefaction beyond the near field, Seismological Research Letters, 78, 512-517. Widodo, L.E. (2021): Preliminary Evaluation of Deep Groundwater Response in the Bandung Groundwater Basin due to Earthquake, Supporting an Evaluation of Soil Liquefaction Potential. Proceeding of 3rd International Conference on Earth Sciences Mineral and Energy, AIP Publishing. Zhang, Y. (2019): Risk Analysis Of Soil Liquefaction In Earthquake Disasters. 4th International Conference on Advances in Energy and Environment Research (ICAEER 2019). Daftar Pustaka dari Situs Internet (web site) : Citra Satelit Desa Petobo, Gempa Palu 2018, data diperoleh melalui situs internet: https://drive.google.com/file/d/1PWPhQbnW3P_I5HX0Y337chmjMZwIz GFM/view, Diunduh pada tanggal 17 Februari 2022. Data Gerakan Tanah dari PEER Ground Motion Database 2021, Data diperoleh melalui situs internet: https://ngawest2.berkeley.edu/, Diunduh pada tanggal 23 Frebruari 2021.