Upgrade to Pro — share decks privately, control downloads, hide ads and more …

Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda

Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda

28 Oktober 2015-2018 Hari ini tepat tanggal 28 Oktober, kita kembali memperingati hari Sumpah Pemuda untuk mengingat sebuah momentum besar yang menandai bersatunya seluruh pemuda pemudi Bangsa Indonesia dalam satu ikrar. Ikrar yang mengikat dan menghujam dalam sanubari pemuda Nusantara untuk bersatu padu memperjuangkan hak hak yang tertindas masa itu. Tanpa ikrar seperti itu mungkin saja kita masih tercerai berai atau entah seperti apa bentuk negara ini.

More Decks by Universitas Darma Persada 2015-2018

Other Decks in Education

Transcript

  1. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke 87 Tahun 2015

    View Slide

  2. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke 87 Tahun 2015
    Assalamualaikum Wr Wb
    Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua
    Para peserta upacara, sivitas academica Universitas Darma
    Persada, khususnya para pemuda dan pemudi yang saya
    cintai.
    Hari ini tepat tanggal 28 Oktober, kita kembali memperingati
    hari Sumpah Pemuda untuk mengingat sebuah momentum
    besar yang menandai bersatunya seluruh pemuda pemudi
    Bangsa Indonesia dalam satu ikrar. Ikrar yang mengikat dan
    menghujam dalam sanubari pemuda Nusantara untuk
    bersatu padu memperjuangkan hak hak yang tertindas masa
    itu. Tanpa ikrar seperti itu mungkin saja kita masih tercerai
    berai atau entah seperti apa bentuk negara ini.
    Sebagai Bangsa Indonesia kita patut memperingati hari
    Sumpah Pemuda dan harus dapat mengambil hikmah dan
    makna yang terkandung di dalamnya. Kita patut mencontoh
    sikap persatuan pemuda yang bisa serempak dalam satu
    wadah NKRI. Sehingga rasa bangga memiliki hingga bersatu
    membangun dan mempertahankan kesatuan negara ini dapat
    kita terapkan dalam sanubari kita masing-masing.
    Dengan Sumpah Pemuda kita harus jeli melihat dan bersikap
    dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara dari tangan-
    tangan perusak. Jangan sampai dapat terpecah belah hanya
    karena niat segelintir orang yang selalu merongrong dan ingin
    mengambil keuntungan untuk diri sendiri.
    Era digital yang ditandai dengan semakin terbuka dan
    cepatnya arus informasi disadari sangat bermanfaat dalam
    mendorong transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan
    efektifitas guna mendukung pembangunan bangsa.
    Namun kalau kita tidak hati-hati, era digital juga sangat
    berpotensi untuk memporakporandakan bangsa ini, karena
    banyaknya perbedaan yang ada di Indonesia yang memiliki
    pulau yang cukup luas, ragam budaya, perkembangan politik
    yang sedang memanas, pengaruh LN yang tidak terbendung,
    serta perbedaan lainya karena bangsa kita kaya akan keaneka
    ragaman.
    Pada titik itulah pentingnya kita memperingati isi dan makna
    dari Sumpah Pemuda sebagai alat pemersatu bangsa.
    Ingatlah bahwa 87 tahun yang lalu, para pemuda Indonesia
    pernah berikrar:
     Bertanah Air Satu Tanah Air Indonesia.
     Berbangsa Satu Bangsa Indonesia
     Berbahasa Satu Bahasa Indonesia.

    View Slide

  3. Peringatan sebagai sebuah refleksi sumpah pemuda ini mesti
    kita terapkan agar kita tidak kehilangan jati diri kita sebagai
    pemuda dan pemudi harapan bangsa.
    Ini adalah sumpah yang tidak hanya diucapkan akan tetapi
    perlu kita serap dalam pikiran, dijadikan sebuah sugesti
    dalam jiwa yang paling dalam, serta diimplementasikan
    dalam tindakan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
    Demikian yang dapat saya sampaikan di peringatan hari
    sumpah Pemuda ini, tetaplah SEMANGAT, junjung tinggi
    tanah air dan tumpah darah kita, bangsa kita, dan bahasa
    kita.
    Wabillahi taufiq wal hidayah.
    Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

    View Slide

  4. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke 88 Tahun 2016

    View Slide

  5. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke 88 Tahun 2016
    Assalamualaikum Wr Wb
    Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua
    Para peserta upacara, sivitas academica Universitas Darma
    Persada, khususnya para pemuda dan pemudi yang saya
    cintai.
    Tidak ada yang bisa menyangsikan betapa besarnya peran
    pemuda dalam perjalanan bangsa ini. Pemuda selalu tampil
    dan memainkan peran vital, mulai dari proses
    prakemerdekaan, kemerdekaan, munculnya Orde Baru hingga
    lahirnya Reformasi. Sejarah telah mencatat, kaum muda
    selalu menjadi garda terdepan dalam setiap babakan
    perubahan di negeri ini.
    Tidak terasa juga, salah satu tonggak sejarah yang pernah
    ditorehkan kaum muda di negeri ini ternyata sudah berlalu 88
    tahun. Tonggak itu kita kenal sebagai peristiwa Sumpah
    Pemuda. Inilah ikrar yang digaungkan kaum muda untuk
    menampilkan identitas kebangsaan yang satu bernama
    Indonesia. Kita kemudian mengenalnya dalam rumusan 1)
    Bertanah Air Satu Tanah Air Indonesia; 2) Berbangsa Satu
    Bangsa Indonesia; 3) Berbahasa Satu Bahasa Indonesia. Inilah
    semangat dari nasionalisme dan kebangsaan kaum muda
    dalam melahirkan bangsa yang besar bernama Indonesia.
    Lalu mengapa perlu mencantumkan kata ‘besar’ pada negara
    Indonesia? Sepatutnya negeri ini untuk masuk ke dalam
    kelompok negara besar. Setidaknya rujukan itu dapat berkaca
    pada populasi penduduk. Hingga pertengahan tahun ini,
    populasi penduduk Indonesia ditaksir telah mencapai 258
    juta jiwa. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia sebagai
    negara berpenduduk terpadat nomor empat di dunia.
    Dari total populasi itu, merujuk data dari laman CIA.gov,
    median age dari penduduk Indonesia ini berusia 29,9 tahun.
    Artinya, inilah cerminan rata-rata usia penduduk Indonesia
    pada masa sekarang. Lantas jika menengok struktur usia,
    sekitar 59% dari total penduduk Indonesia adalah penduduk
    berusia antara 15-54 tahun. Kelompok usia ini merupakan
    usia produktif yang tentunya menyimpan semangat muda
    untuk membawa negeri ini menjadi lebih baik ke depan.
    Di balik potensi populasi tadi, ternyata kaum muda masa kini
    dihadapkan pada tantangan yang berbeda dengan para
    pemuda masa lalu. Masa kini, tantangan terbesar kaum muda
    adalah globalisation borderless, globalisasi tanpa batas
    negara. Ancaman terbesar dari hadirnya globalisation
    borderless ini terdapat sektor ekonomi dan informasi. Inilah
    yang sepatutnya menjadi bahan refleksi untuk
    mempertanyakan sejauh manakah kaum muda Indonesia
    mampu merespons tantangan zaman tersebut?
    Ketika ekonomi dan informasi sudah tak lagi tersekat dalam
    batas-batas teritorial bernama negara, di sanalah
    sesungguhnya muncul ancaman terbesar bagi kaum muda
    yang menjadi mayoritas penduduk di negeri ini. Apakah kaum

    View Slide

  6. muda Indonesia masih bersemangat menjaga nasionalisme
    agar tak luntur saat arus informasi luar kian menderas dan
    produk impor semakin tak terbendung?
    Dalam memaknai nasionalisme, tentunya kita tidak bisa lagi
    menerjemahkannya secara sempit atau hanya sekedar
    menduplikasi semangat kaum muda pada 88 tahun silam.
    Seiring terkikisnya sekatan ekonomi dan informasi
    antarnegara tadi, disinilah urgensi untuk memaknai nilai
    nasionalisme itu menjadi semakin meluas. Nasionalisme pada
    masa kini, sepatutnya dipandang bagaimana kaum muda
    negeri ini bisa berjiwa kreatif, mandiri, dan berwirausaha.
    Inilah tantangan terbesar untuk menciptakan kaum muda
    yang kompetitif di tengah era global seperti sekarang. Untuk
    melakukannya, tentunya kaum muda harus memiliki kesiapan
    yang baik. Kesiapan tersebut tentu saja harus berlandaskan
    pada aspek keilmuan, ketrampilan, dan kepercayaan diri.
    Pada aspek keilmuan, bangsa ini sepertinya masih harus
    bekerja lebih keras untuk memperbaiki kualitas
    pendidikannya. Setidaknya, berdasarkan Survei UNESCO pada
    2015, Indonesia sempat dilaporkan menempati posisi
    terendah terhadap kualitas pendidikan di negara-negara
    berkembang di Asia-Pasifik. Tepatnya berada pada peringkat
    10 dari 14 negara. Persoalan ini masih menjadi PR besar bagi
    para pendidik maupun institusi pendidikan untuk meciptakan
    pendidikan berkualitas di negeri ini.
    Sementara dalam hal ketrampilan dan kepercayaan diri,
    upaya untuk mengasah kemampuan ini bisa dilihat pada
    model pendidikan yang dikemas di Unit Kegiatan Resimen
    Mahasiswa (Menwa). Melalui semboyan Widya Çastrena
    tempatkanlah mereka di tempat-tempat terhomat.
    Hanya dengan hal semacam itulah kita akan bisa lebih
    memaknai pahlawan yang sudah sangat berjasa bagi negeri
    ini. Perlu ditekankan juga dalam proses menmenyampaikan
    nilai-nilai kepahlawanan dan cerita pahlawan itu perlu adanya
    tokoh bangsa yang kuat. Mengapa kita membutuhkan tokoh
    bangsa? Hanya dengan cara semacam itulah pesan yang akan
    disampaikan bakal menjadi lebih kuat untuk sampai kepada
    publik.
    Pertanyaan besarnya sekarang adalah adakah tokoh bangsa
    yang bisa membahasakan nilai-nilai ketokohan dari para
    pahlawan masa lalu kepada masyarakat yang tengah larut
    dalam euforia demokrasi dan kebebasan? Secara jujur,
    sekarang ini kita memang sedang mengalami krisis terhadap
    tokoh bangsa. Para tokoh bangsa yang kerap muncul di ruang
    publik, sekarang ini masih banyak terjebak pada pragmatisme
    politik jangan pendek.
    Jadi tidak mengherankan kalau kemudian masyarakat
    sekarang memiliki caranya sendiri untuk menjadikan
    pahlawan masa kini adalah orang-orang biasa yang mampu
    memberikan arti kepada sesamanya. Tentunya, ini menjadi
    sebuah ancaman bagi negeri yang kini sudah merdeka 71
    tahun.
    Pertanyaan besar pun muncul; akankah kita meniadakan
    pahlawan di masa mendatang hanya karena kita sudah tak
    lagi mempunyai tokoh bangsa yang dapat dihormati? Atau,
    akankah para pahlawan masa lalu itu akan tergerus dari
    ingatan kolektif generasi mendatang hanya karena kita begitu
    bangga dengan liberalisme informasi?

    View Slide

  7. Dharma Siddha, para pemuda -- dalam hal ini para mahasiswa
    -- ditempa untuk menyempurnakan pengabdian dirinya
    melalui ilmu pengetahuan dan ilmu keprajuritan. Ilmu
    keprajuritan di sini sangat berkaitan erat dengan jiwa
    keperwiraan, keksatriaan, serta kepemimpinan. Inilah yang
    sesungguhnya menjadi modal berharga untuk menghadapi
    persaingan global pada masa kini.
    Ketika tuntutan menguasai ekonomi dan informasi menjadi
    hal mutlak, sudah sepatutnya mendorong kaum muda untuk
    merebutnya, bukan mengacuhkannya. Tentu saja, usaha
    untuk hal tersebut harus ditanamkan melalui upaya
    menuntut ilmu. Tesisnya, dengan semakin berilmu maka
    bakal meningkat juga daya saing SDMnya. Lalu tak boleh
    dilupakan juga, semua pihak beserta pemerintah harus terus
    mendorong kaum muda negeri ini untuk dapat
    menumbuhkan jiwa-jiwa kreatif enterpreuner.
    Saat kaum muda itu kreatif, berwawasan keilmuan serta
    berjiwa pemimpin, hal itulah yang sebenarnya dibutuhkan
    dalam jawaban tantangan ekonomi dan informasi yang sudah
    tak lagi mengenal batas negara. Di sanalah nasionalisme itu
    terselip dalam jiwa muda yang selalu bergolak. Generasi
    muda masa kini harus memiliki semangat nasionalisme
    semacam itu untuk menjawab tantangan zaman.
    Demikian yang dapat saya sampaikan pada peringatan hari
    sumpah Pemuda ini, tetaplah SEMANGAT, junjung tinggi
    tanah air dan tumpah darah kita, bangsa kita, dan bahasa
    kita.
    Wabillahi taufiq wal hidayah. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

    View Slide

  8. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke 89 Tahun 2017

    View Slide

  9. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke 89 Tahun 2017
    Assalamualaikum Wr Wb
    Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua
    Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma
    Persada, khususnya para pemuda dan pemudi yang saya
    cintai.
    Belum lama ini, kita semua digaduhkan oleh idiom kata
    pribumi yang disampaikan dalam pidato perdana Gubernur
    DKI Jakarta, Anies Baswedan. Pandangan masyarakat menjadi
    terbelah, ada yang pro dan ada yang kontra. Dalam iklim
    demokrasi, hadirnya pro dan kontra itu sesungguhnya
    merupakan hal yang lazim terjadi.
    Semua perbedaan pandangan itu sepatutnya dapat dilihat
    sebagai sebuah dinamika dari kehidupan berdemokrasi.
    Bukan sebaliknya, perbedaan cara pandang dalam memaknai
    kata pribumi itu justru terus digoreng sebagai komoditas
    politik yang bertujuan destruktif.
    Tanpa hendak mempersoalkan lebih jauh soal kata pribumi
    tersebut, kita harusnya bisa berkaca pada sebuah sejarah
    besar bangsa ini. Marilah kita mengingat kembali bagaimana
    kaum-kaum muda terpelajar pada 1928 mampu mengikarkan
    dirinya sebagai satu tanah air, bangsa dan bahasa bernama
    Indonesia. Sejarah pun mencatat, ikrar itu sebagai Sumpah
    Pemuda yang selalu kita peringati setiap 28 Oktober. Sebagai
    penggagas Kongres Pemuda pada saat itu adalah
    Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, termasuk di
    dalamnya pemuda-pemudi dari Perkumpulan Sekar Roekoen,
    Jong Java, Jong Soematranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong
    Islamieten Bond, Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Jong
    Ambon, dan Pemoeda Kaoem Betawi.
    Lahirnya peristiwa Sumpah Pemuda itu sesungguhnya
    menegaskan bahwa keragamanan perbedaan yang dimiliki
    bangsa ini justru mampu dijadikan sebagai perekat untuk
    melawan penjajah. Sebagai bangsa yang dianugerahi dengan
    kekayaan 1.340 suku bangsa (BPS, 2010), perbedaan itu
    adalah sebuah keniscayaan. Filosofi itulah yang kemudian kita
    kenal sebagai Bhineka Tunggal Ika.
    Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma
    Persada, khususnya para pemuda dan pemudi yang saya
    cintai.
    Harus diakui untuk menerima perbedaan itu bukanlah hal
    mudah. Selepas Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan
    berlanjut pada Pilkada DKI Jakarta, polarisasi pandangan dan
    sikap dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini menjadi
    semakin tampak garis demarkasinya antara pihak pro dan
    kontra. Melihat kondisi sekarang ini kita seakan bergerak
    mundur, jauh melebihi 89 tahun silam yang menjadi salah
    satu tonggak sejarah bersatunya rakyat atas nama Indonesia
    yang diwujudkan dalam Sumpah Pemuda.

    View Slide

  10. Lantas mengapa polarisasi perbedaan-perbedaan ini menjadi
    begitu mudah meruncing pada masa kini? Dari sekian banyak
    faktor, saya meyakini ketimpangan pendidikan di negeri ini
    menjadi salah satu penyebab utama, selain juga faktor
    ketimpangan ekonomi.
    Mengutip hasil penelitian Programme for International
    Student Assessment (PISA) 2012, budaya literasi Indonesia
    masih sangat tertinggal di kawasan Asia Tenggara. Posisi
    Indonesia sudah tertinggal jauh dibandingkan dengan negeri
    jiran seperti Singapura dan Malaysia. Rendahnya budaya
    literasi ini diperkuat juga dengan temuan Pusat Data dan
    Statistik Kemendikbud 2015 yang mengungkap angka buta
    huruf Indonesia mencapai 5.984.075 orang.
    Rendahnya kemampuan literasi itu ternyata berdampak pula
    pada kualitas pendidikan di negeri ini. Mengutip artikel dari
    laman Deutsche Welle (Februari, 2017) diperlihatkan bahwa
    secara umum kualitas pendidikan Indonesia masih berada di
    bawah Palestina, Samoa dan Mongolia. Hanya sebanyak 44
    persen penduduk Indonesia yang menuntaskan pendidikan
    menengah. Sementara, 11 persen murid gagal menuntaskan
    pendidikan alias keluar dari sekolah.
    Data Kemristekdikti juga mengungkapkan pada 2016 jumlah
    mahasiswa di Indonesia yang terdata hanya ada sekitar 5,3
    juta jiwa. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia
    19-30 tahun, angka partisipasi kasar (APK) itu baru ada
    sekitar 23 persen saja. Idealnya, untuk menghasilkan Sumber
    Daya Manusia unggul (SDM), APK harus sebesar 30 persen
    atau jumlah mahasiswa idealnya adalah sebanyak 6,9 juta
    jiwa. (Cahyono, 2016).
    Inilah tantangan besar sekaligus potret suram yang kini
    dimiliki oleh bangsa yang telah mereguk kemerdekaan 72
    tahun. Ketika kualitas pendidikan dan budaya literasi
    masyarakatnya masih sangat rendah maka adanya
    perbedaan-perbedaan itu akan menjadi sangat rentan untuk
    menimbulkan gesekan yang kelak dapat berujung pada
    lahirnya konflik horisontal. Tentunya, hal semacam itu sangat
    tidak kita harapkan terjadi di negeri yang kita cintai ini.
    Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma
    Persada, khususnya para pemuda dan pemudi yang saya
    cintai.
    Lantas apa yang bisa kita perbuat untuk mengantisipasi
    kemungkinan buruk tersebut? Ini juga mengingat, tahun
    depan kita akan memasuki tahun yang berat. Tahun 2018
    dipastikan akan semakin lagi banyak intrik poltik yang lebih
    menghebohkan menjelang Pilpres 2019. Boleh jadi, dikotomi
    yang siap mengusik persatuan negeri ini tak hanya persoalan
    seperti kata pribumi saja.
    Di sinilah tanggung jawab dari kelompok terpelajar. Walau
    secara populasi jumlah mereka tak banyak namun sejarah
    selalu mencatat bahwa perubahan besar itu justru selalu
    digerakkan oleh kelompok menengah yang terpelajar.
    Bukti itu sudah berwujud nyata ketika kaum terpelajar di
    negeri ini menyatukan tekadnya dalam ikrar Sumpah Pemuda
    pada 1928. Di saat potensi gesekan akan terus meningkat di
    hari-hari mendatang maka kaum terpelajar seharusnya bisa
    menempatkan dirinya sebagai kelompok yang mampu
    merekatkan.

    View Slide

  11. Dalam upaya merekatkan kesatuan tersebut, sikap kritis
    tentunya harus tetap dijaga. Tanpa adanya kritik maka di
    sanalah kemunduran besar buat demokrasi. Namun
    demikian, kritik-kritik yang dilahirkan itu muaranya harus
    tetap konstruktif sebagai bentuk tanggung jawab intelektual
    dalam mengawal pemerintahan ini menuju jalan yang terbaik.
    Sebaliknya juga, ketika para kaum terpelajar ini
    menyampaikan kritik maka pemerintah jangan melihatnya
    sebagai sebuah bentuk kebencian, melainkan harus
    menyikapinya sebagai sebuah penyemangat untuk membantu
    roda pemerintah berjalan lebih baik.
    Maka sudah sewajarnya kalau momentum Sumpah Pemuda
    ini menjadi pelecut langkah bagi para kaum terpelajar di
    negeri ini untuk bisa menempatkan dirinya sebagai perekat
    kesatuan bangsa Indonesia melalui pemikiran, gagasan, dan
    tindakan nyata. Marilah kita semaikan darma untuk
    mengabdikan diri pada masyarakat dengan lebih banyak lagi
    mengaktualisasikan riset yang dapat memberi kemaslahatan
    masyarakat.
    Sekaranglah waktunya para kaum terpelajar untuk berbuat
    nyata karena tantangan di masa mendatang di negeri ini akan
    semakin besar. Rasanya akan menjadi dosa besar jika para
    kaum terpelajar tidak mampu menyemaikan kebaikan yang
    dapat merekatkan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang
    maju di kemudian hari.
    Demikian yang dapat saya sampaikan pada peringatan hari
    sumpah Pemuda ini, tetaplah SEMANGAT, junjung tinggi
    tanah air dan tumpah darah kita, bangsa kita, dan bahasa
    kita.
    Wabillahi taufiq wal hidayah. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

    View Slide

  12. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke 90 Tahun 2018

    View Slide

  13. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke 90 Tahun 2018
    Assalamualaikum Wr Wb
    Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua
    Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma
    Persada, khususnya para pemuda dan pemudi yang saya
    cintai.
    Ada suatu ungkapan berbahasa Inggris: “If you play by the
    rules, you will always lose”. Ungkapan tersebut janganlah di
    interpretasikan untuk bersikap membiasakan diri melanggar
    aturan. Ungkapan itu harusnya dimaknai secara lebih luas.
    Sepatutnya, dalam memaknai ungkapan tersebut dapat
    dilihat sebagai bentuk ajakan untuk secara aktif tidak
    menempatkan diri terjebak pada aturan baku yang terkadang
    malah mengekang lahirnya sikap-sikap kreatif dan inovatif.
    Cara berpikir inilah yang harusnya didorong oleh kaum muda
    pada masa kini. Momentum hari Sumpah Pemuda yang kini
    telah genap berusia 90 tahun sudah seharusnya dijadikan
    pembakar semangat para pemuda masa kini untuk menjadi
    garda terdepan perubahan (agent of change) di negeri ini
    dengan menghasilkan karya-karya yang inovatif. Patut diicatat
    bahwa tantangan pemuda pada masa kini dan masa lalu itu
    sudah berbeda jauh.
    Dalam satu dekade terakhir ini, para pemikir dunia —
    khususnya dari kalangan dunia bisnis — menggambarkan
    tantangan yang dihadapi pada masa kini ke dalam fenomena
    situasi yang bersifat volatile, uncertain, complexity and
    ambiguity (VUCA). Istilah ini sesungguhnya mengadopsi dari
    dunia militer. Fenomena VUCA itu untuk menggambarkan
    situasi informasi medan tempur yang amat terbatas. Kerap
    kali, medan seperti itu bisa mengantarkan pihak yang terlibat
    di dalamnya masuk ke dalam situasi chaos atau diistilahkan
    medan perang kabut (fog war).
    Inilah kondisi nyata yang dihadapi pada masa kini di saat
    perkembangan teknologi digital sudah semakin akrab dalam
    keseharian. Fenomena volatile ini digambarkan sebagai
    gejolak perubahan yang terus berlangsung. Pada masa kini,
    fenomena semacam itu terlihat jelas dengan lahirnya tatanan
    ekonomi baru. Di sini terjadinya perubahan terhadap tata
    nilai dan gaya hidup serta begitu masifnya arus pertukaran
    informasi, barang dan jasa yang berlangsung secara cepat.
    Belakangan, fenomena semacam ini kerap dikaitkan dengan
    kondisi distruption. Merujuk penjelasan Profesor Rhenald
    Kasali, disruption ini terjadi akibat adanya perubahan cara
    berbisnis yang dulunya sangat menekankan owning
    (kepemilikan) menjadi sharing (saling berbagi peran,
    kolaborasi resources) (Kompas.com, 2017). Saat ini kita sudah
    merasakan dampaknya seperti hadirnya aplikasi Go-Jek karya
    anak muda Indonesia yang telah berperan besar dalam
    mengubah mainset publik negeri ini terhadap sistem
    transportasi yang berbasis konsumen.

    View Slide

  14. Lalu kondisi uncertain atau ketidakpastian merupakan
    cerminan dari kondisi kehidupan masa kini yang sudah
    semakin borderless, tanpa batas. Apa yang terjadi di belahan
    dunia lain, sering kali memberikan pengaruh besarnya di
    negeri ini. Fenomena ini bisa kita temukan dalam bisnis
    global yang terkadang memberikan pengaruh nyata kepada
    iklim bisnis di tanah air.
    Kemudian terhadap fenomena complexity, sebagaimana
    dijelaskan Leksana TH (2018), merupakan situasi dimana kita
    kesulitan memahami penyebab suatu masalah secara
    langsung. Interdepensi dan interkoneksi berbagai kejadian
    menjadi penyebab yang saling mempengaruhi satu sama lain.
    Penyebab kompleksitas bisa berasal dari berbagai multi faktor
    seperti munculnya beragam kompetitor baru, disrupsi
    teknologi, berubahnya pola konsumsi, regulasi yang
    kompleks, perubahan pola supply chain serta beragam faktor
    lainnya.
    Sedangkan, fenomena ambiguity memiliki padanan kata
    membingungkan. Fenomena ini dialami pada masa kini ketika
    kepastian untuk mencapai hasil itu dirasa menjadi sangat
    unpredicatable. Sesuatu yang terlihat mudah, dalam
    pelaksanaannya ternyata kerap menemukan situasi-situasi
    yang mengejutkan dan menjadi kendala untuk menggapai
    goal yang telah ditetapkan.
    Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma
    Persada, khususnya para pemuda dan pemudi yang saya
    cintai.
    Terhadap tantangan yang sudah berubah pesat itu, apa yang
    harusnya dilakukan oleh kaum muda pada masa kini?
    Sebagaimana kalimat pembuka tulisan ini, kaum muda
    harusnya berani berpikiran out of the box. Aturan yang dibuat
    manusia itu sesungguhnya selalu memiliki ruang dan celah
    yang dapat dimaksimalkan demi melahirkan kebaikan. Sosok
    semacam Nadiem Makarim yang mendirikan Go-Jek bisa
    dijadikan sosok hero bagi kaum muda masa kini dalam
    melahirkan produk-produk kreatif dan inovatif.
    Tantangan bonus demografi yang akan dihadapi negeri ini
    dalam kurun waktu tak sampai 10 tahun lagi harusnya
    menjadi agenda besar yang patut direspons oleh kaum muda
    masa kini. Data Kementerian Ketenagakerjaan mengungkap
    jumlah penduduk yang masuk dalam angkatan kerja sekarang
    ini sebanyak 54,2 juta orang. Populasi ini selayaknya dapat
    menjadi aset bagi perekonomian nasional karena kaum muda
    menjadi bagian penting di dalamnya.
    Selain mendorong lahirnya cara berpikir inovatif tadi, kaum
    muda tentunya tak boleh untuk mengabaikan pendidikan.
    Dengan semakin membaiknya level pendidikan maka menjadi
    salah satu cara untuk merespons tantangan yang ada. Di sini,
    tanggungjawab tak Hanya menjadi milik kaum muda saja.
    Namun, lembaga pendidikan tinggi harusnya bisa berpikir
    revolusioner dalam merespons fenomena VUCA yang kini
    dihadapi.
    Model-model pengajaran yang selama ini hanya terjebak
    pada rutinitas di dalam kelas dan berlangsung monolog,
    harusnya bisa diperkaya. Salah satunya dengan lebih banyak
    lagi mengembangkan riset yang semakin responsif terhadap

    View Slide

  15. kebutuhan masyarakat masa kini. Artinya, riset yang lahir itu
    bisa diaplikasi dan bukan hanya menjadi koleksi di ruang-
    ruang akademik.
    Artinya, ketika arus perubahan itu sudah semakin bergerak
    masif maka kaum muda tak boleh lagi sebagai penonton.
    Begitu juga halnya dengan institusi pendidikan tinggi yang
    harusnya bersikap responsif untuk mendorong lahirnya kaum
    muda yang berpikiran inovatif dan kreatif. Inilah tantangan
    yang harusnya kita jawab secara bersama-sama dalam
    memaknai esensi dari Hari Sumpah Pemuda.
    Demikian yang dapat saya sampaikan pada peringatan hari
    sumpah Pemuda ini, tetaplah SEMANGAT, junjung tinggi
    tanah air dan tumpah darah kita, bangsa kita, dan bahasa
    kita.
    Wabillahi taufiq wal hidayah.
    Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

    View Slide