Upgrade to Pro — share decks privately, control downloads, hide ads and more …

Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan Hari Pahlawan

Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan Hari Pahlawan

10 November 2015-2018 Sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno pada Pidato Hari Pahlawan 10 November 1961 “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”. Untuk itu, marilah kita renungkan langkah besar bapak bangsa kita seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Wahid Hasyim, Mohammad Yamin, Abdul Kahar Mudzakkir, Agus Salim, Abikusno Tiokrosoejoso, AA Maramis, dan Ahmad Subarjo yang terhimpun dalam Panitia Sembilan BPUPKI. Mereka telah mewariskan lima norma dan nilai-nilai yang kemudian menjadi Pancasila sebagai dasar negara, sebagai ideologi pemersatu bangsa, juga sebagai spirit kegotong-royongan dalam bermasyarakat dan bernegara.

More Decks by Universitas Darma Persada 2015-2018

Other Decks in Education

Transcript

  1. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2015

    View Slide

  2. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2015
    Assalamualaikum Wr Wb
    Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua
    Para peserta upacara, sivitas academica Universitas Darma
    Persada yang saya cintai.
    Sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno pada Pidato
    Hari Pahlawan 10 November 1961 “Bangsa yang besar adalah
    bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”. Untuk itu,
    marilah kita renungkan langkah besar bapak bangsa kita
    seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Wahid Hasyim,
    Mohammad Yamin, Abdul Kahar Mudzakkir, Agus Salim,
    Abikusno Tiokrosoejoso, AA Maramis, dan Ahmad Subarjo
    yang terhimpun dalam Panitia Sembilan BPUPKI. Mereka
    telah mewariskan lima norma dan nilai-nilai yang kemudian
    menjadi Pancasila sebagai dasar negara, sebagai ideologi
    pemersatu bangsa, juga sebagai spirit kegotong-royongan
    dalam bermasyarakat dan bernegara.
    Berkaitan dengan kampus kita, dalam suasana hari pahlawan,
    pada tanggal 15 November 1965, kalangan senior alumni
    Jepang mendirikan Akademi Bahasa dan Kebudayaan Jepang
    – ABKJ- yang dikemudian hari menjadi Akademi Bahasa Asing
    Melati Sakura. Sejumlah senior alumni Jepang yang pernah
    berbakti sebagai direktur lembaga pendidikan tersebut,
    Hasan Rahaya MA (1965 – 1966). Moh Soedjiman LLM, MCL
    (1966 – 1967). Drs. Julianto MA (1967 – 1968). Drs.
    Wahjosumidjo (1968 – 1975). Terakhir, R Sugeng Subroto MA
    (1975 – 1988).
    Akademi Bahasa dan Kebudayaan Jepang dan atau Akademi
    Bahasa Asing MESRA itulah, dijadikan embrio dari
    keberadaan Universitas Darma Persada yang didirikan oleh
    himpunan anak-anak bangsa yang bersatu dan berkarya
    dalam wadah PERSADA, Perhimpunan Alumni dari Jepang.
    Pendirian Universitas Darma Persada diprakarsai oleh lima
    eksponen alumni dari Jepang: Indra kartasasmita, Soegeng
    Soebroto, Sudjiman, Purwanto dan Abdillah Muchsin.
    Prakarsa tersebut, mereka teruskan ke PERSADA di bawah
    kepemimpinan ketua umum, Yoga Soegomo, yang berikutnya
    mengundang rapat anggota PERSADA. Maret 1986. Rapat
    yang berlangsung di jalan KH Wahid Hasyim 76, jakarta Pusat
    dan dihadiri 60 anggota waktu itu, sepakat untuk mendirikan
    suatu Universitas. Terbentuklah Panitia Pendiri Universitas
    Darma Persada yang diketuai Indra Kartasasmita dengan 11
    pelindung/ penasehat, seperti Yoga Soegomo, Husein
    Kartasasmita, Martono, Ginandjar Kartasasmita, Syarief
    Thayeb, Widarsadipradja, Sayidiman Suryohadiprojo, Satrio,
    Tumbelaka, Umarjadi Njotowijono, dan Utoyo Sukaton.
    Langkah besar dan semangat kepahlawanan para pendiri
    bangsa dan sesepuh kita itulah yang perlu kita hayati,
    renungkan dan gelorakan untuk memberikan penguatan
    semangat dalam menghadapi setiap tantangan dan ujian yang
    dihadapi negeri ini.

    View Slide

  3. Untuk itu marilah momentum ini kita jadikan satu langkah
    baru untuk membangun keyakinan dan optimisme kita
    sebagai warga bangsa untuk dijadikan landasan revolusi
    karakter bagi bangsa Indonesia menjadi negara maju dan
    bermartabat.
    Demikian, semoga Alloh SWT senantiasa memberikan
    petunjuk dan melindungi bangsa Indonesia serta
    menganugerahkan jalan keluar dari segala masalah yang
    sedang kita hadapi. Masyarakat kita dapat hidup rukun,
    damai, sejahtera, dan harmonis dalam bingkai Negara
    Kesatuan Republik Indonesia.
    Wabillahi taufiq wal hidayah.
    Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

    View Slide

  4. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2016

    View Slide

  5. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2016
    Assalamualaikum Wr Wb
    Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua
    Para peserta upacara, sivitas academica Universitas Darma
    Persada yang saya cintai.
    Dalam peringatan Hari Pahlawan pada tanggal 10 November
    ini saya ingin berbagi pemikiran tentang adanya pergeseran
    makna terhadap arti pahlawan pada masa kini.
    Hasil kajian yang dilakukan Prapancha Research terhadap 4
    juta perbincangan tentang 'pahlawan' dan 'kepahlawanan' di
    media sosial memperlihatkan bahwa pahlawan pada masa
    kini adalah sosok pahlawan yang dikaitkan dengan tindakan
    'orang-orang biasa' namun sangat berarti bagi sesama
    (Liputan6.com, 2016). Sebagian besar responden tidak lagi
    mengenali kisah perjuangan dan nilai-nilai luhur yang telah
    ditunjukkan oleh sosok-sosok semacam Bung Tomo,
    Sudirman atau para pahlawan kemerdekaan lainnya. Inilah
    sebuah ironi dari masyarakat masa kini.
    Ironisme lainnya terlihat juga dengan munculnya beragam
    informasi negatif tentang para pahlawan bangsa ini.
    Semangat yang digaungkan untuk menyuarakan hal semacam
    itu sesungguhnya buah dari semangat liberalisme dalam
    menyampaikan pendapat. Sesungguhnya, inilah ironisme
    yang kelak bisa menggerus makna dan nilai kepahlawanan
    bangsa ini. Kita menjadi begitu bangga untuk menyampaikan
    kritik kepada para pahlawan tapi kita tidak pernah sadar
    bahwa kritik semacam itu justru menjadi hal yang
    kontraproduktif untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa
    besar.
    Bukankah Bung Karno pernah mengingatkan bangsa ini
    melalui pidatonya yang begitu terkenal 'jangan sekali-kali
    meninggalkan sejarah'. Sayangnya, sebagai bangsa yang
    masih gagap dalam menyambut keterbukaan informasi dalam
    iklim demokrasi, sebagian anak bangsa ini menjadi begitu
    lantangnya untuk menelanjangi hal negatif dari para
    pahlawan negeri ini. Seakan kita beranggapan bahwa sosok
    pahlawan itu hanyalah manusia biasa yang tak lepas dari cela.
    Inilah bentuk sesat pikir dari keterbukaan yang begitu
    membahayakan.
    Padahal di Amerika Serikat -- negara yang menyemaikan
    demokrasi dan liberalisme -- masyarakat di sana masih tetap
    bangga untuk menceritakan kembali para tokoh bangsanya.
    Mengapa hal semacam itu bisa terjadi di Amerika? Apakah
    yang terjadi di negeri ini hanya sebuah anomali dari
    masyarakat Indonesia yang sedang mengalami banjir
    informasi? Sepatutnya kita tak harus terus menunjuk pihak
    lain atau mencari kesalahan. Momentum Hari Pahlawan ini
    harusnya bisa menjadi ruang refleksi sekaligus instropeksi
    diri. Saatnya kita meredefinisikan makna pahlawan dan
    kepahlawanan dalam konstektualitas yang kekinian.

    View Slide

  6. Para peserta upacara, sivitas academica Universitas Darma
    Persada yang saya cintai.
    Untuk melakukan hal semacam itu, tentunya pemerintah dan
    institusi pendidikan bisa saling bersinergi untuk melakukan
    riset. Riset yang bersifat komprehensi itu sangat diperlukan
    untuk mendapatkan formulasi terbaik dalam
    memperkenalkan kembali para pahlawan masa lalu kepada
    generasi masa kini yang mengalami banjir informasi. Saatnya
    kita mengubah cara-cara membosankan dalam
    mendesiminasikan cerita pahlawan kepada generasi masa
    kini.
    Perlu adanya pengkayaan dalam sudut pandang untuk
    menceritakan ulang semangat dan makna nilai dari sosok-
    sosok pahlawan masa lalu. Tentunya riset yang dikembangkan
    itu harusnya menempatkan para pahlawan itu dalam
    tempatnya yang agung dalam perjalanan sejarah bangsa.
    Harus diakui, selama ini riset mengenai pahlawan bangsa di
    negeri ini masih sangat minim. Kurangnya keinginan itu tak
    lepas dari tidak adanya follow-up terhadap riset-riset
    tersebut. Padahal begitu banyak medium yang dapat menjadi
    outcome dari riset-riset semacam itu. Salah satu cara efektif
    seperti yang dilakukan beberapa sineas terbaik negeri ini
    dengan mengangkat kembali kisah-kisah biography picture
    (biopic) para pahlawan ke dalam layar lebar.
    Namun perlu diingat, proses pembahasaan ulang sejarah
    dengan model semacam ini tentunya harus dilakukan secara
    berhati-hati. Jangan demi keinginan untuk menghibur semata
    namun nilai-nilai luhur para pahlawan yang diceritakan itu
    menjadi tergerus. Hal yang perlu dipertegas adalah
    tempatkanlah mereka di tempat-tempat terhomat.
    Hanya dengan hal semacam itulah kita akan bisa lebih
    memaknai pahlawan yang sudah sangat berjasa bagi negeri
    ini. Perlu ditekankan juga dalam proses menmenyampaikan
    nilai-nilai kepahlawanan dan cerita pahlawan itu perlu adanya
    tokoh bangsa yang kuat. Mengapa kita membutuhkan tokoh
    bangsa? Hanya dengan cara semacam itulah pesan yang akan
    disampaikan bakal menjadi lebih kuat untuk sampai kepada
    publik.
    Pertanyaan besarnya sekarang adalah adakah tokoh bangsa
    yang bisa membahasakan nilai-nilai ketokohan dari para
    pahlawan masa lalu kepada masyarakat yang tengah larut
    dalam euforia demokrasi dan kebebasan? Secara jujur,
    sekarang ini kita memang sedang mengalami krisis terhadap
    tokoh bangsa. Para tokoh bangsa yang kerap muncul di ruang
    publik, sekarang ini masih banyak terjebak pada pragmatisme
    politik jangan pendek.
    Jadi tidak mengherankan kalau kemudian masyarakat
    sekarang memiliki caranya sendiri untuk menjadikan
    pahlawan masa kini adalah orang-orang biasa yang mampu
    memberikan arti kepada sesamanya. Tentunya, ini menjadi
    sebuah ancaman bagi negeri yang kini sudah merdeka 71
    tahun.
    Pertanyaan besar pun muncul; akankah kita meniadakan
    pahlawan di masa mendatang hanya karena kita sudah tak
    lagi mempunyai tokoh bangsa yang dapat dihormati? Atau,
    akankah para pahlawan masa lalu itu akan tergerus dari
    ingatan kolektif generasi mendatang hanya karena kita begitu
    bangga dengan liberalisme informasi?

    View Slide

  7. Semua itu adalah pilihan. Tapi secara ideal, kita jangan
    pernah melupakan para pahlawan masa lalu.
    Demikian, semoga Alloh SWT senantiasa memberikan
    petunjuk dan melindungi bangsa Indonesia serta
    menganugerahkan jalan keluar dari segala masalah yang
    sedang kita hadapi. Tempatkanlah terus para pahlawan masa
    lalu itu dalam ingatan masa kini dan masa yang akan datang.
    Kelak, hanya dengan cara semacam itulah Indonesia akan bisa
    menjadi bangsa besar, yakni bangsa yang selalu mengingat
    jasa pahlawan masa lalunya.
    Wabillahi taufiq wal hidayah.
    Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

    View Slide

  8. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2017

    View Slide

  9. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2017
    Assalamualaikum Wr Wb
    Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua
    Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma
    Persada yang saya cintai.
    Alhamdulillah, Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Alloh SWT
    Tuhan yang Maha Kuasa, atas limpahan rahmat dan karunia-
    Nya, yang memberi kita kesehatan jasmani-rohani, kekuatan
    mental spiritual, serta kesadaran untuk terus mengemban
    amanat semangat juang yang tegak berdiri di atas cita-cita
    Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945.
    Tak ada yang bisa menyangkal jika peran generasi muda
    selalu menjadi tulang punggung dalam setiap terjadinya
    perubahan. Di Indonesia, setiap perubahan sosial itu selalu
    saja melibatkan kelompok generasi muda sebagai garda
    terdepan.
    Pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya -- yang
    kemudian dikukuhkan sebagai Hari Pahlawan -- melibatkan
    pula kaum muda sebagai motor penggeraknya. Sosok yang
    paling menonjol sekaligus juga sebagai pemimpinnya adalah
    Sutomo. Kita semua lebih mengenalnya dengan sapaan Bung
    Tomo.
    Usianya ketika itu baru menanjak 25 tahun. Perannya sangat
    sentral. Suaranya yang menggelora lewat radio mampu
    membangkitkan semangat juang arek-arek Suroboyo untuk
    melawan penjajah Belanda yang datang dengan
    mendompleng tentara NICA ke Tanah Air. Andai saja kita
    ilustrasikan usia Bung Tomo kala itu dengan generasi masa
    kini, boleh jadi sosoknya masih berstatus sebagai mahasiswa
    atau baru saja menyandang gelar sarjana.
    Lantas pertanyaan pun mengemuka, bagaimana dengan
    generasi muda masa kini? Sudahkah mereka mampu menjadi
    motor-motor penggerak perubahan sosial di negeri ini? Inilah
    pertanyaan yang perlu dihadirkan ulang setelah bangsa ini
    melewati 72 tahun kemerdekaannya, utamanya dalam
    memaknai momentum Hari Pahlawan yang selalu diperingati
    setiap 10 November.
    Untuk menjawabnya, rasanya sungguh tidak adil jika harus
    membandingkan peran perubahan yang dilakukan kaum
    muda pada masa Bung Tomo itu dengan generasi muda masa
    kini. Periodesasi waktu dan persoalan yang terjadi sungguh
    berbeda. Pada masa itu, kaum muda tampil sebagai
    penggerak perubahan dengan cara mengangkat senjata untuk
    melawan penjajah.
    Pada masa kini, kaum muda yang lebih dikenal sebagai
    generasi millennial, tentunya memiliki cara yang berbeda
    dalam menyikapi maupun melibatkan dirinya ke dalam
    pusaran perubahan sosial. Berdasarkan terminologinya,
    generasi millennial ini dikelompokkan ke dalam generasi yang
    lahir pada rentang 1981-2000. Kira-kira mereka ini berusia
    pada kisaran 17–36 tahun. Sementara mengutip riset Pew

    View Slide

  10. Research Center pada 2010 berjudul Millennials: A Portrait of
    Generation Next, kehidupan generasi millennial ini tidak bisa
    dilepaskan dari teknologi terutama internet, entertainment
    ataupun hiburan. (Hasanudin Ali: 2016)
    Dalam sebuah artikel yang dikutip dari hipwee.com (2016),
    dijelaskan pula generasi millennial ini memiliki karakter
    berpikiran terbuka, mudah beradaptasi, multitasking, namun
    kurang fokus dan mudah bosan. Sedangkan baby boomers --
    generasi yang lahir antara tahun 1945-1976 -- identik dengan
    etos kerja tinggi, mandiri, dan mampu menjadi pemimpin
    yang baik, namun kurang bisa beradaptasi dengan
    perubahan.
    Identitas perilaku itulah yang kemudian menempatkan
    generasi millennial ini menjadi berbeda dibanding generasi-
    generasi terdahulu. Namun saya tetap yakin generasi
    millennial akan bisa memainkan peran dalam menciptakan
    terjadinya perubahan sosial.
    Setidaknya, indikasi keyakinan itu bisa dilihat dari hasil survei
    CSIS yang dirilis pada 3 November lalu. Mengutip laporan
    Detik.com, survei terhadap 600 sampel dari 34 provinsi di
    Indonesia itu memperlihatkan persoalan keterbatasan
    lapangan pekerjaan (25,5 persen), tingginya harga sembako
    (21,5 persen) dan tingginya angka kemiskinan (14,3 persen).
    Ketiga hal itu menjadi persoalan utama yang disorot oleh
    generasi millennial.
    Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma
    Persada yang saya cintai.
    Untuk merespons kegelisahan generasi millennial yang
    ditangkap oleh CSIS itu maka di sinilah tanggungjawab
    institusi pendidikan untuk mengambil peran. Pendidikan yang
    dihadirkan kepada generasi millennial ini tentunya sudah
    tidak bisa lagi dilakukan dengan pendekatan yang normatif --
    hanya mengandalkan text book semata. Karakter generasi
    yang terbuka, melek teknologi dan multitasking, sepatutnya
    dijadikan benchmark untuk mengembangkan model
    pendidikan yang kelak melahirkan generasi yang kompetitif
    dalam menjawab tantangan zamannya.
    Sayangnya, fakta yang tersaji saat ini justru memperlihatkan
    daya saing tenaga kerja Indonesia masih sangat rendah. Data
    Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Februari 2017
    menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dari angkatan kerja
    di Indonesia masih didominasi oleh pendidikan Sekolah Dasar
    (SD) ke bawah yang mencapai 42,23 persen. Lalu SMP
    sebanyak 18,16 persen, SMA (16,48 persen), SMK (10,87
    persen), Diploma (2,95 persen), dan Universitas (9,31
    persen). Dari data BPS itu ditunjukkan juga bahwa terdapat 7
    juta pengangguran dari total 131,54 juta penduduk berusia
    produktif.
    Inilah tantangan yang harus segera direspons. Sebagai
    pengelola pendidikan tinggi, penulis melihat bahwa secara
    jangka pendek yang dibutuhkan saat ini adalah
    memperbanyak unit-unit Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)
    dan pendidikan vokasional. Unit LSP ini diperlukan untuk
    memberikan legalitas terhadap kualitas mutu tenaga kerja

    View Slide

  11. Indonesia yang dikeluarkan melalui institusi pendidikan tinggi.
    Sementara pendidikan vokasional ini perlu diperbanyak
    karena instrumen ini hadir untuk menyiapkan para lulusan
    terampil dengan fokus pada penguasaan keahlian terapan
    tertentu.
    Lantas secara jangka panjang, peningkatan kualitas mutu
    generasi millennial ini bisa ditempa lewat program reguler
    pendidikan tinggi melalui program seperti S1, S2 maupun S3.
    Namun dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan ini, kita
    masih memiliki sejumlah kendala. Salah satunya adalah
    kualitas tenaga pengajar yang boleh dibilang masih ala
    kadarnya. Indikasi itu terlihat dengan masih minimnya tenaga
    dosen di Indonesia yang bergelar doktor.
    Data Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Iptek Pendidikan
    Tinggi Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi tahun 2017
    menyebutkan saat ini baru ada 31 ribu tenaga pengajar dosen
    yang telah bergelar doktor di seluruh Indonesia. Sementara
    total tenaga pengajar dosen yang terdata sebanyak 270.000
    orang. Artinya, perbandingan doktor per 1 juta penduduk,
    Indonesia hanya memiliki 143 doktor. Di Malaysia jumlah
    doktor per 1 juta penduduknya adalah sebanyak 509,
    Amerika memiliki 9.850 doktor per 1 juta orang, Jerman
    dengan 3.990 doktor, dan Jepang dengan 6.438 jumlah
    doktor. (Koran Sindo, 2017)
    Inilah perjuangan yang harusnya direspons oleh generasi
    millennial. Tantangan zaman yang sudah berubah sepatutnya
    dipahami oleh generasi ini. Bonus demografi yang akan
    dihadapi Indonesia dalam beberapa tahun ke depan harus
    ditunjang dengan perbaikan kualitas pendidikan bagi generasi
    millennial. Penulis percaya karakteristik yang dimiliki generasi
    ini akan bisa menjadi modal besar untuk melakukan
    perbaikan dan membawa Indonesia menjadi lebih baik di
    masa mendatang.
    Ingatlah, kalau Bung Tomo yang masih berusia muda bisa
    bersuara lantang mengobarkan semangat juang arek-arek
    Suroboyo melawan penjajah maka kecerdasan dan krearifitas
    generasi millennial yang cemerlang akan menjadi modal
    besar untuk membawa negeri ini merdeka dalam arti yang
    sesungguhnya. Teruslah belajar dan berkreasi. Kelak, cara
    itulah yang akan menjadikan generasi millennial ini dikenang
    oleh generasi berikutnya sebagai pahlawan bagi bangsa ini.
    Pilihan sudah di depan mata. Apakah kita ingin memilihnya
    atau kita malah mengabaikannya?
    Demikian, semoga Alloh SWT Tuhan Yang Maha Esa
    senantiasa melindungi bangsa dan Negara Indonesia. Aamin
    YRA.
    Wabillahi taufiq wal hidayah.
    Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

    View Slide

  12. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2018

    View Slide

  13. Pidato Rektor Unsada
    Pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2018
    Assalamualaikum Wr Wb
    Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua
    Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma
    Persada yang saya cintai.
    Alhamdulillah, Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Alloh SWT
    Tuhan yang Maha Kuasa, atas limpahan rahmat dan karunia-
    Nya, yang memberi kita kesehatan jasmani-rohani, kekuatan
    mental spiritual, serta kesadaran untuk terus mengemban
    amanat semangat juang yang tegak berdiri di atas cita-cita
    Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945.
    Dalam memperingati Hari Pahlawan ini, saya ingin
    menyampaikan tema tentang arti penting pahlawan masa kini
    dan geostrategis Indonesia. Tantangan masa kini telah
    berubah begitu cepat dalam beberapa dasawarsa tahun
    belakangan. Perubahan zaman yang kini mengarah pada
    fenomena volatile, uncertain, complexity and ambiguity
    (VUCA) tentunya harus direspons secara sigap oleh generasi
    masa kini.
    Walau kondisi zaman telah berubah namun ada satu hal yang
    tak bisa dianggap enteng dari negeri ini. Letak geografis
    Indonesia yang sangat strategis tentunya menyimpan banyak
    potensi sekaligus juga mendatangkan banyak ancaman. Inilah
    yang harusnya diberikan perhatian oleh generasi masa kini.
    Sebagaimana diketahui, Indonesia berada di antara dua
    benua Asia dan Australia. Lalu, Indonesia diapit juga oleh dua
    samudera luas, yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
    Kondisi ini tentunya memberikan banyak manfaat, terutama
    secara ekonomi. Namun mengapa sampai 73 tahun Indonesia
    merdeka, negeri ini masih belum mampu berdaulat secara
    ekonomi?
    Pertanyaan mendasar Inilah yang sepatutnya ditegaskan
    kembali di saat negeri ini memperingati Hari Pahlawan yang
    biasa dilakukan setiap 10 November. Inilah tantangan yang
    harusnya direspons oleh generasi masa kini bagaimana
    seluruh elemen anak negeri ini bisa memaksimalkan potensi
    geostrategis Indonesia untuk kemajuan negeri.
    Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma
    Persada yang saya cintai.
    Sebelum mengulas lebih jauh, perlu kiranya secara singkat
    untuk memahami apa yang dimaksud geostrategis ini.
    Menurut pengertiannya, geostrategi merupakan strategi
    dalam memanfaatkan konstelasi geografi negara untuk
    menentukan kebijakan, tujuan, serta sarana-sarana untuk
    mencapai tujuan nasional. Geostrategi dapat pula dikatakan
    sebagai pemanfaatan kondisi lingkungan dalam upaya
    mewujudkan tujuan politik.

    View Slide

  14. Merujuk pada awal pendefenisiannya, geostrategi Indonesia
    ini pada mulanya digagas oleh Sekolah Staf dan Komando
    Angkatan Darat (SESKOAD) Bandung pada 1962. Isi konsep
    geostrategi Indonesia berkaitan dengan pentingnya
    pengkajian terhadap perkembangan lingkungan strategi di
    kawasan Indonesia yang ditandai dengan meluasnya
    pengaruh komunis.
    Namun, pada masa kini pemahaman terhadap urgensi
    geostrategis ini sudah sangat meluas pemaknaannya.
    Ancaman yang kini di depan mata kita bukan lagi terbatas
    pada bahaya laten ideologi komunis. Lebih besar dari itu
    adalah bagaimana generasi masa kini merespons tantangan
    zaman yang sudah bergerak sangat maju ke era industri 4.0.
    Era ini muncul seiring dengan perkembangan teknologi
    komputasi yang sudah semakin canggih. Di dalamnya
    mengandalkan pertukaran data terkini dalam sistem siber-
    fisik, internet, komputasi awam maupun komputasi kognitif.
    Artinya, kecanggihan teknologi digital yang sudah semakin
    pesat itu harus ditopang dengan pendidikan yang semakin
    baik. Saya sangat percaya, hanya dengan institusi pendidikan
    saja, negeri ini akan bisa merespons tantangan zaman yang
    telah berubah sekaligus juga memaksimalkan potensi
    geostrategis yang dimiliki oleh Indonesia.
    Sayangnya, kondisi riil pendidikan yang dihadapi Indonesia
    masih sangat memprihatinkan. Data yang dirilis UNESCO pada
    2000 masih memperlihatkan kualitas pendidikan di Indonesia
    yang masih sangat menyedihkan. Indikatornya dapat dilihat
    pada Indeks Pengembangan Manusia (Human Development
    Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan,
    kesehatan, dan penghasilan per kepala.
    Dari data UNESCO itu menunjukkan bahwa indeks
    pengembangan manusia Indonesia makin menurun sejak era
    reformasi berlangsung di Negeri ini. Di antara 174 negara di
    dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99
    (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
    Kondisi yang timpang itu diperkuat juga oleh data hasil survei
    Political and Economic Risk Consultant (PERC). Data itu
    menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia berada pada
    urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Sedangkan untuk urusan
    kualitas angkatan kerja lulusan sarjana dan diploma,
    Indonesia masih kalah jauh dibandingkan Malaysia. Saat ini,
    jumlah angkatan kerja Indonesia yang merupakan lulusan
    sarjana dan diploma hanya berkisar di angka 11 persen.
    Sementara Malaysia telah di atas 22 persen. Inilah tantangan
    besar.
    Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma
    Persada yang saya cintai.
    Jadi ketika kualitas pendidikan dan tenaga kerja Indonesia
    berpendidikan tinggi masih sangat minim, kita tak boleh
    menjadi berpatah arang. Menyitir sebuah terjemahan dari
    Alquran yang menyebutkan “Sesungguhnya Allah tidak
    merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah
    keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” maka perubahan
    itu hanya akan terjadi kalau kita semua mau berusaha.
    Artinya, potensi geostrategis yang dimiliki Indonesia sudah
    seharusnya dimaksimalkan dengan pengembangan ilmu
    pengetahuan berbasis teknologi. Dalam hal ini, institusi

    View Slide

  15. pendidikan harusnya bisa mengambil peranan besar untuk
    bisa mendorong terlahirnya generasi muda dan genarasi
    masa kini yang lebih berkualitas dan berdaya saing tinggi.
    Dari mana harus memulainya? Inilah pertanyaan yang harus
    kita jawab bersama. Namun satu hal yang pasti, marilah kita
    memulai dari diri kita sendiri untuk lebih giat lagi dalam
    belajar. Tentunya pembelajaran itu harus mampu melahirkan
    karya-karya inovatif dan kreatif dengan cara memanfaatkan
    model geostrategis yang dimiliki oleh negeri ini.
    Tentunya, kita tidak ingin potensi geostrategis yang dimiliki ini
    hanya menjadi ladang ‘bancakan’ negeri-negeri tetangga saja.
    Untuk bisa mengelolanya, tak ada jalan lain, pemerintah dan
    seluruh elemen anak negeri ini harus bersungguh-sungguh
    untuk lebih giat belajar serta melahirkan karya-karya inovatif
    untuk kemajuan bangsa.
    Semangat inilah yang harusnya digaungkan kembali di saat
    negeri ini merayakan Hari Pahlawan. Ketika generasi masa
    kini semakin giat belajar dan melahirkan karya-karya inovatif
    berbasis teknologi maka di sanalah semangat kepahlawanan
    itu bisa tumbuh. Ingatlah, tantangan masa kini dan masa yang
    akan datang bukan lagi ancaman perang secara fisik.
    Melainkan ancaman yang sesungguhnya adalah perang otak
    untuk bisa memanfaatkan semua potensi yang ada. Lantas,
    sudah siapkah kita untuk menyambutnya?
    Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga Alloh SWT
    Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melindungi bangsa dan
    Negara Indonesia. Aamin YRA.
    Wabillahi taufiq wal hidayah. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

    View Slide