Upgrade to Pro — share decks privately, control downloads, hide ads and more …

Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan Hari Pahla...

Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan Hari Pahlawan

10 November 2015-2018 Sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno pada Pidato Hari Pahlawan 10 November 1961 “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”. Untuk itu, marilah kita renungkan langkah besar bapak bangsa kita seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Wahid Hasyim, Mohammad Yamin, Abdul Kahar Mudzakkir, Agus Salim, Abikusno Tiokrosoejoso, AA Maramis, dan Ahmad Subarjo yang terhimpun dalam Panitia Sembilan BPUPKI. Mereka telah mewariskan lima norma dan nilai-nilai yang kemudian menjadi Pancasila sebagai dasar negara, sebagai ideologi pemersatu bangsa, juga sebagai spirit kegotong-royongan dalam bermasyarakat dan bernegara.

More Decks by Universitas Darma Persada 2015-2018

Other Decks in Education

Transcript

  1. Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2015

    Assalamualaikum Wr Wb Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua Para peserta upacara, sivitas academica Universitas Darma Persada yang saya cintai. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno pada Pidato Hari Pahlawan 10 November 1961 “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”. Untuk itu, marilah kita renungkan langkah besar bapak bangsa kita seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Wahid Hasyim, Mohammad Yamin, Abdul Kahar Mudzakkir, Agus Salim, Abikusno Tiokrosoejoso, AA Maramis, dan Ahmad Subarjo yang terhimpun dalam Panitia Sembilan BPUPKI. Mereka telah mewariskan lima norma dan nilai-nilai yang kemudian menjadi Pancasila sebagai dasar negara, sebagai ideologi pemersatu bangsa, juga sebagai spirit kegotong-royongan dalam bermasyarakat dan bernegara. Berkaitan dengan kampus kita, dalam suasana hari pahlawan, pada tanggal 15 November 1965, kalangan senior alumni Jepang mendirikan Akademi Bahasa dan Kebudayaan Jepang – ABKJ- yang dikemudian hari menjadi Akademi Bahasa Asing Melati Sakura. Sejumlah senior alumni Jepang yang pernah berbakti sebagai direktur lembaga pendidikan tersebut, Hasan Rahaya MA (1965 – 1966). Moh Soedjiman LLM, MCL (1966 – 1967). Drs. Julianto MA (1967 – 1968). Drs. Wahjosumidjo (1968 – 1975). Terakhir, R Sugeng Subroto MA (1975 – 1988). Akademi Bahasa dan Kebudayaan Jepang dan atau Akademi Bahasa Asing MESRA itulah, dijadikan embrio dari keberadaan Universitas Darma Persada yang didirikan oleh himpunan anak-anak bangsa yang bersatu dan berkarya dalam wadah PERSADA, Perhimpunan Alumni dari Jepang. Pendirian Universitas Darma Persada diprakarsai oleh lima eksponen alumni dari Jepang: Indra kartasasmita, Soegeng Soebroto, Sudjiman, Purwanto dan Abdillah Muchsin. Prakarsa tersebut, mereka teruskan ke PERSADA di bawah kepemimpinan ketua umum, Yoga Soegomo, yang berikutnya mengundang rapat anggota PERSADA. Maret 1986. Rapat yang berlangsung di jalan KH Wahid Hasyim 76, jakarta Pusat dan dihadiri 60 anggota waktu itu, sepakat untuk mendirikan suatu Universitas. Terbentuklah Panitia Pendiri Universitas Darma Persada yang diketuai Indra Kartasasmita dengan 11 pelindung/ penasehat, seperti Yoga Soegomo, Husein Kartasasmita, Martono, Ginandjar Kartasasmita, Syarief Thayeb, Widarsadipradja, Sayidiman Suryohadiprojo, Satrio, Tumbelaka, Umarjadi Njotowijono, dan Utoyo Sukaton. Langkah besar dan semangat kepahlawanan para pendiri bangsa dan sesepuh kita itulah yang perlu kita hayati, renungkan dan gelorakan untuk memberikan penguatan semangat dalam menghadapi setiap tantangan dan ujian yang dihadapi negeri ini.
  2. Untuk itu marilah momentum ini kita jadikan satu langkah baru

    untuk membangun keyakinan dan optimisme kita sebagai warga bangsa untuk dijadikan landasan revolusi karakter bagi bangsa Indonesia menjadi negara maju dan bermartabat. Demikian, semoga Alloh SWT senantiasa memberikan petunjuk dan melindungi bangsa Indonesia serta menganugerahkan jalan keluar dari segala masalah yang sedang kita hadapi. Masyarakat kita dapat hidup rukun, damai, sejahtera, dan harmonis dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wabillahi taufiq wal hidayah. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
  3. Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2016

    Assalamualaikum Wr Wb Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua Para peserta upacara, sivitas academica Universitas Darma Persada yang saya cintai. Dalam peringatan Hari Pahlawan pada tanggal 10 November ini saya ingin berbagi pemikiran tentang adanya pergeseran makna terhadap arti pahlawan pada masa kini. Hasil kajian yang dilakukan Prapancha Research terhadap 4 juta perbincangan tentang 'pahlawan' dan 'kepahlawanan' di media sosial memperlihatkan bahwa pahlawan pada masa kini adalah sosok pahlawan yang dikaitkan dengan tindakan 'orang-orang biasa' namun sangat berarti bagi sesama (Liputan6.com, 2016). Sebagian besar responden tidak lagi mengenali kisah perjuangan dan nilai-nilai luhur yang telah ditunjukkan oleh sosok-sosok semacam Bung Tomo, Sudirman atau para pahlawan kemerdekaan lainnya. Inilah sebuah ironi dari masyarakat masa kini. Ironisme lainnya terlihat juga dengan munculnya beragam informasi negatif tentang para pahlawan bangsa ini. Semangat yang digaungkan untuk menyuarakan hal semacam itu sesungguhnya buah dari semangat liberalisme dalam menyampaikan pendapat. Sesungguhnya, inilah ironisme yang kelak bisa menggerus makna dan nilai kepahlawanan bangsa ini. Kita menjadi begitu bangga untuk menyampaikan kritik kepada para pahlawan tapi kita tidak pernah sadar bahwa kritik semacam itu justru menjadi hal yang kontraproduktif untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa besar. Bukankah Bung Karno pernah mengingatkan bangsa ini melalui pidatonya yang begitu terkenal 'jangan sekali-kali meninggalkan sejarah'. Sayangnya, sebagai bangsa yang masih gagap dalam menyambut keterbukaan informasi dalam iklim demokrasi, sebagian anak bangsa ini menjadi begitu lantangnya untuk menelanjangi hal negatif dari para pahlawan negeri ini. Seakan kita beranggapan bahwa sosok pahlawan itu hanyalah manusia biasa yang tak lepas dari cela. Inilah bentuk sesat pikir dari keterbukaan yang begitu membahayakan. Padahal di Amerika Serikat -- negara yang menyemaikan demokrasi dan liberalisme -- masyarakat di sana masih tetap bangga untuk menceritakan kembali para tokoh bangsanya. Mengapa hal semacam itu bisa terjadi di Amerika? Apakah yang terjadi di negeri ini hanya sebuah anomali dari masyarakat Indonesia yang sedang mengalami banjir informasi? Sepatutnya kita tak harus terus menunjuk pihak lain atau mencari kesalahan. Momentum Hari Pahlawan ini harusnya bisa menjadi ruang refleksi sekaligus instropeksi diri. Saatnya kita meredefinisikan makna pahlawan dan kepahlawanan dalam konstektualitas yang kekinian.
  4. Para peserta upacara, sivitas academica Universitas Darma Persada yang saya

    cintai. Untuk melakukan hal semacam itu, tentunya pemerintah dan institusi pendidikan bisa saling bersinergi untuk melakukan riset. Riset yang bersifat komprehensi itu sangat diperlukan untuk mendapatkan formulasi terbaik dalam memperkenalkan kembali para pahlawan masa lalu kepada generasi masa kini yang mengalami banjir informasi. Saatnya kita mengubah cara-cara membosankan dalam mendesiminasikan cerita pahlawan kepada generasi masa kini. Perlu adanya pengkayaan dalam sudut pandang untuk menceritakan ulang semangat dan makna nilai dari sosok- sosok pahlawan masa lalu. Tentunya riset yang dikembangkan itu harusnya menempatkan para pahlawan itu dalam tempatnya yang agung dalam perjalanan sejarah bangsa. Harus diakui, selama ini riset mengenai pahlawan bangsa di negeri ini masih sangat minim. Kurangnya keinginan itu tak lepas dari tidak adanya follow-up terhadap riset-riset tersebut. Padahal begitu banyak medium yang dapat menjadi outcome dari riset-riset semacam itu. Salah satu cara efektif seperti yang dilakukan beberapa sineas terbaik negeri ini dengan mengangkat kembali kisah-kisah biography picture (biopic) para pahlawan ke dalam layar lebar. Namun perlu diingat, proses pembahasaan ulang sejarah dengan model semacam ini tentunya harus dilakukan secara berhati-hati. Jangan demi keinginan untuk menghibur semata namun nilai-nilai luhur para pahlawan yang diceritakan itu menjadi tergerus. Hal yang perlu dipertegas adalah tempatkanlah mereka di tempat-tempat terhomat. Hanya dengan hal semacam itulah kita akan bisa lebih memaknai pahlawan yang sudah sangat berjasa bagi negeri ini. Perlu ditekankan juga dalam proses menmenyampaikan nilai-nilai kepahlawanan dan cerita pahlawan itu perlu adanya tokoh bangsa yang kuat. Mengapa kita membutuhkan tokoh bangsa? Hanya dengan cara semacam itulah pesan yang akan disampaikan bakal menjadi lebih kuat untuk sampai kepada publik. Pertanyaan besarnya sekarang adalah adakah tokoh bangsa yang bisa membahasakan nilai-nilai ketokohan dari para pahlawan masa lalu kepada masyarakat yang tengah larut dalam euforia demokrasi dan kebebasan? Secara jujur, sekarang ini kita memang sedang mengalami krisis terhadap tokoh bangsa. Para tokoh bangsa yang kerap muncul di ruang publik, sekarang ini masih banyak terjebak pada pragmatisme politik jangan pendek. Jadi tidak mengherankan kalau kemudian masyarakat sekarang memiliki caranya sendiri untuk menjadikan pahlawan masa kini adalah orang-orang biasa yang mampu memberikan arti kepada sesamanya. Tentunya, ini menjadi sebuah ancaman bagi negeri yang kini sudah merdeka 71 tahun. Pertanyaan besar pun muncul; akankah kita meniadakan pahlawan di masa mendatang hanya karena kita sudah tak lagi mempunyai tokoh bangsa yang dapat dihormati? Atau, akankah para pahlawan masa lalu itu akan tergerus dari ingatan kolektif generasi mendatang hanya karena kita begitu bangga dengan liberalisme informasi?
  5. Semua itu adalah pilihan. Tapi secara ideal, kita jangan pernah

    melupakan para pahlawan masa lalu. Demikian, semoga Alloh SWT senantiasa memberikan petunjuk dan melindungi bangsa Indonesia serta menganugerahkan jalan keluar dari segala masalah yang sedang kita hadapi. Tempatkanlah terus para pahlawan masa lalu itu dalam ingatan masa kini dan masa yang akan datang. Kelak, hanya dengan cara semacam itulah Indonesia akan bisa menjadi bangsa besar, yakni bangsa yang selalu mengingat jasa pahlawan masa lalunya. Wabillahi taufiq wal hidayah. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
  6. Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2017

    Assalamualaikum Wr Wb Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma Persada yang saya cintai. Alhamdulillah, Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Alloh SWT Tuhan yang Maha Kuasa, atas limpahan rahmat dan karunia- Nya, yang memberi kita kesehatan jasmani-rohani, kekuatan mental spiritual, serta kesadaran untuk terus mengemban amanat semangat juang yang tegak berdiri di atas cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Tak ada yang bisa menyangkal jika peran generasi muda selalu menjadi tulang punggung dalam setiap terjadinya perubahan. Di Indonesia, setiap perubahan sosial itu selalu saja melibatkan kelompok generasi muda sebagai garda terdepan. Pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya -- yang kemudian dikukuhkan sebagai Hari Pahlawan -- melibatkan pula kaum muda sebagai motor penggeraknya. Sosok yang paling menonjol sekaligus juga sebagai pemimpinnya adalah Sutomo. Kita semua lebih mengenalnya dengan sapaan Bung Tomo. Usianya ketika itu baru menanjak 25 tahun. Perannya sangat sentral. Suaranya yang menggelora lewat radio mampu membangkitkan semangat juang arek-arek Suroboyo untuk melawan penjajah Belanda yang datang dengan mendompleng tentara NICA ke Tanah Air. Andai saja kita ilustrasikan usia Bung Tomo kala itu dengan generasi masa kini, boleh jadi sosoknya masih berstatus sebagai mahasiswa atau baru saja menyandang gelar sarjana. Lantas pertanyaan pun mengemuka, bagaimana dengan generasi muda masa kini? Sudahkah mereka mampu menjadi motor-motor penggerak perubahan sosial di negeri ini? Inilah pertanyaan yang perlu dihadirkan ulang setelah bangsa ini melewati 72 tahun kemerdekaannya, utamanya dalam memaknai momentum Hari Pahlawan yang selalu diperingati setiap 10 November. Untuk menjawabnya, rasanya sungguh tidak adil jika harus membandingkan peran perubahan yang dilakukan kaum muda pada masa Bung Tomo itu dengan generasi muda masa kini. Periodesasi waktu dan persoalan yang terjadi sungguh berbeda. Pada masa itu, kaum muda tampil sebagai penggerak perubahan dengan cara mengangkat senjata untuk melawan penjajah. Pada masa kini, kaum muda yang lebih dikenal sebagai generasi millennial, tentunya memiliki cara yang berbeda dalam menyikapi maupun melibatkan dirinya ke dalam pusaran perubahan sosial. Berdasarkan terminologinya, generasi millennial ini dikelompokkan ke dalam generasi yang lahir pada rentang 1981-2000. Kira-kira mereka ini berusia pada kisaran 17–36 tahun. Sementara mengutip riset Pew
  7. Research Center pada 2010 berjudul Millennials: A Portrait of Generation

    Next, kehidupan generasi millennial ini tidak bisa dilepaskan dari teknologi terutama internet, entertainment ataupun hiburan. (Hasanudin Ali: 2016) Dalam sebuah artikel yang dikutip dari hipwee.com (2016), dijelaskan pula generasi millennial ini memiliki karakter berpikiran terbuka, mudah beradaptasi, multitasking, namun kurang fokus dan mudah bosan. Sedangkan baby boomers -- generasi yang lahir antara tahun 1945-1976 -- identik dengan etos kerja tinggi, mandiri, dan mampu menjadi pemimpin yang baik, namun kurang bisa beradaptasi dengan perubahan. Identitas perilaku itulah yang kemudian menempatkan generasi millennial ini menjadi berbeda dibanding generasi- generasi terdahulu. Namun saya tetap yakin generasi millennial akan bisa memainkan peran dalam menciptakan terjadinya perubahan sosial. Setidaknya, indikasi keyakinan itu bisa dilihat dari hasil survei CSIS yang dirilis pada 3 November lalu. Mengutip laporan Detik.com, survei terhadap 600 sampel dari 34 provinsi di Indonesia itu memperlihatkan persoalan keterbatasan lapangan pekerjaan (25,5 persen), tingginya harga sembako (21,5 persen) dan tingginya angka kemiskinan (14,3 persen). Ketiga hal itu menjadi persoalan utama yang disorot oleh generasi millennial. Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma Persada yang saya cintai. Untuk merespons kegelisahan generasi millennial yang ditangkap oleh CSIS itu maka di sinilah tanggungjawab institusi pendidikan untuk mengambil peran. Pendidikan yang dihadirkan kepada generasi millennial ini tentunya sudah tidak bisa lagi dilakukan dengan pendekatan yang normatif -- hanya mengandalkan text book semata. Karakter generasi yang terbuka, melek teknologi dan multitasking, sepatutnya dijadikan benchmark untuk mengembangkan model pendidikan yang kelak melahirkan generasi yang kompetitif dalam menjawab tantangan zamannya. Sayangnya, fakta yang tersaji saat ini justru memperlihatkan daya saing tenaga kerja Indonesia masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Februari 2017 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dari angkatan kerja di Indonesia masih didominasi oleh pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah yang mencapai 42,23 persen. Lalu SMP sebanyak 18,16 persen, SMA (16,48 persen), SMK (10,87 persen), Diploma (2,95 persen), dan Universitas (9,31 persen). Dari data BPS itu ditunjukkan juga bahwa terdapat 7 juta pengangguran dari total 131,54 juta penduduk berusia produktif. Inilah tantangan yang harus segera direspons. Sebagai pengelola pendidikan tinggi, penulis melihat bahwa secara jangka pendek yang dibutuhkan saat ini adalah memperbanyak unit-unit Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dan pendidikan vokasional. Unit LSP ini diperlukan untuk memberikan legalitas terhadap kualitas mutu tenaga kerja
  8. Indonesia yang dikeluarkan melalui institusi pendidikan tinggi. Sementara pendidikan vokasional

    ini perlu diperbanyak karena instrumen ini hadir untuk menyiapkan para lulusan terampil dengan fokus pada penguasaan keahlian terapan tertentu. Lantas secara jangka panjang, peningkatan kualitas mutu generasi millennial ini bisa ditempa lewat program reguler pendidikan tinggi melalui program seperti S1, S2 maupun S3. Namun dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan ini, kita masih memiliki sejumlah kendala. Salah satunya adalah kualitas tenaga pengajar yang boleh dibilang masih ala kadarnya. Indikasi itu terlihat dengan masih minimnya tenaga dosen di Indonesia yang bergelar doktor. Data Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Iptek Pendidikan Tinggi Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi tahun 2017 menyebutkan saat ini baru ada 31 ribu tenaga pengajar dosen yang telah bergelar doktor di seluruh Indonesia. Sementara total tenaga pengajar dosen yang terdata sebanyak 270.000 orang. Artinya, perbandingan doktor per 1 juta penduduk, Indonesia hanya memiliki 143 doktor. Di Malaysia jumlah doktor per 1 juta penduduknya adalah sebanyak 509, Amerika memiliki 9.850 doktor per 1 juta orang, Jerman dengan 3.990 doktor, dan Jepang dengan 6.438 jumlah doktor. (Koran Sindo, 2017) Inilah perjuangan yang harusnya direspons oleh generasi millennial. Tantangan zaman yang sudah berubah sepatutnya dipahami oleh generasi ini. Bonus demografi yang akan dihadapi Indonesia dalam beberapa tahun ke depan harus ditunjang dengan perbaikan kualitas pendidikan bagi generasi millennial. Penulis percaya karakteristik yang dimiliki generasi ini akan bisa menjadi modal besar untuk melakukan perbaikan dan membawa Indonesia menjadi lebih baik di masa mendatang. Ingatlah, kalau Bung Tomo yang masih berusia muda bisa bersuara lantang mengobarkan semangat juang arek-arek Suroboyo melawan penjajah maka kecerdasan dan krearifitas generasi millennial yang cemerlang akan menjadi modal besar untuk membawa negeri ini merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Teruslah belajar dan berkreasi. Kelak, cara itulah yang akan menjadikan generasi millennial ini dikenang oleh generasi berikutnya sebagai pahlawan bagi bangsa ini. Pilihan sudah di depan mata. Apakah kita ingin memilihnya atau kita malah mengabaikannya? Demikian, semoga Alloh SWT Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melindungi bangsa dan Negara Indonesia. Aamin YRA. Wabillahi taufiq wal hidayah. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
  9. Pidato Rektor Unsada Pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2018

    Assalamualaikum Wr Wb Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma Persada yang saya cintai. Alhamdulillah, Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Alloh SWT Tuhan yang Maha Kuasa, atas limpahan rahmat dan karunia- Nya, yang memberi kita kesehatan jasmani-rohani, kekuatan mental spiritual, serta kesadaran untuk terus mengemban amanat semangat juang yang tegak berdiri di atas cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Dalam memperingati Hari Pahlawan ini, saya ingin menyampaikan tema tentang arti penting pahlawan masa kini dan geostrategis Indonesia. Tantangan masa kini telah berubah begitu cepat dalam beberapa dasawarsa tahun belakangan. Perubahan zaman yang kini mengarah pada fenomena volatile, uncertain, complexity and ambiguity (VUCA) tentunya harus direspons secara sigap oleh generasi masa kini. Walau kondisi zaman telah berubah namun ada satu hal yang tak bisa dianggap enteng dari negeri ini. Letak geografis Indonesia yang sangat strategis tentunya menyimpan banyak potensi sekaligus juga mendatangkan banyak ancaman. Inilah yang harusnya diberikan perhatian oleh generasi masa kini. Sebagaimana diketahui, Indonesia berada di antara dua benua Asia dan Australia. Lalu, Indonesia diapit juga oleh dua samudera luas, yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Kondisi ini tentunya memberikan banyak manfaat, terutama secara ekonomi. Namun mengapa sampai 73 tahun Indonesia merdeka, negeri ini masih belum mampu berdaulat secara ekonomi? Pertanyaan mendasar Inilah yang sepatutnya ditegaskan kembali di saat negeri ini memperingati Hari Pahlawan yang biasa dilakukan setiap 10 November. Inilah tantangan yang harusnya direspons oleh generasi masa kini bagaimana seluruh elemen anak negeri ini bisa memaksimalkan potensi geostrategis Indonesia untuk kemajuan negeri. Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma Persada yang saya cintai. Sebelum mengulas lebih jauh, perlu kiranya secara singkat untuk memahami apa yang dimaksud geostrategis ini. Menurut pengertiannya, geostrategi merupakan strategi dalam memanfaatkan konstelasi geografi negara untuk menentukan kebijakan, tujuan, serta sarana-sarana untuk mencapai tujuan nasional. Geostrategi dapat pula dikatakan sebagai pemanfaatan kondisi lingkungan dalam upaya mewujudkan tujuan politik.
  10. Merujuk pada awal pendefenisiannya, geostrategi Indonesia ini pada mulanya digagas

    oleh Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) Bandung pada 1962. Isi konsep geostrategi Indonesia berkaitan dengan pentingnya pengkajian terhadap perkembangan lingkungan strategi di kawasan Indonesia yang ditandai dengan meluasnya pengaruh komunis. Namun, pada masa kini pemahaman terhadap urgensi geostrategis ini sudah sangat meluas pemaknaannya. Ancaman yang kini di depan mata kita bukan lagi terbatas pada bahaya laten ideologi komunis. Lebih besar dari itu adalah bagaimana generasi masa kini merespons tantangan zaman yang sudah bergerak sangat maju ke era industri 4.0. Era ini muncul seiring dengan perkembangan teknologi komputasi yang sudah semakin canggih. Di dalamnya mengandalkan pertukaran data terkini dalam sistem siber- fisik, internet, komputasi awam maupun komputasi kognitif. Artinya, kecanggihan teknologi digital yang sudah semakin pesat itu harus ditopang dengan pendidikan yang semakin baik. Saya sangat percaya, hanya dengan institusi pendidikan saja, negeri ini akan bisa merespons tantangan zaman yang telah berubah sekaligus juga memaksimalkan potensi geostrategis yang dimiliki oleh Indonesia. Sayangnya, kondisi riil pendidikan yang dihadapi Indonesia masih sangat memprihatinkan. Data yang dirilis UNESCO pada 2000 masih memperlihatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang masih sangat menyedihkan. Indikatornya dapat dilihat pada Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala. Dari data UNESCO itu menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun sejak era reformasi berlangsung di Negeri ini. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Kondisi yang timpang itu diperkuat juga oleh data hasil survei Political and Economic Risk Consultant (PERC). Data itu menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Sedangkan untuk urusan kualitas angkatan kerja lulusan sarjana dan diploma, Indonesia masih kalah jauh dibandingkan Malaysia. Saat ini, jumlah angkatan kerja Indonesia yang merupakan lulusan sarjana dan diploma hanya berkisar di angka 11 persen. Sementara Malaysia telah di atas 22 persen. Inilah tantangan besar. Para peserta upacara, Sivitas Academica Universitas Darma Persada yang saya cintai. Jadi ketika kualitas pendidikan dan tenaga kerja Indonesia berpendidikan tinggi masih sangat minim, kita tak boleh menjadi berpatah arang. Menyitir sebuah terjemahan dari Alquran yang menyebutkan “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” maka perubahan itu hanya akan terjadi kalau kita semua mau berusaha. Artinya, potensi geostrategis yang dimiliki Indonesia sudah seharusnya dimaksimalkan dengan pengembangan ilmu pengetahuan berbasis teknologi. Dalam hal ini, institusi
  11. pendidikan harusnya bisa mengambil peranan besar untuk bisa mendorong terlahirnya

    generasi muda dan genarasi masa kini yang lebih berkualitas dan berdaya saing tinggi. Dari mana harus memulainya? Inilah pertanyaan yang harus kita jawab bersama. Namun satu hal yang pasti, marilah kita memulai dari diri kita sendiri untuk lebih giat lagi dalam belajar. Tentunya pembelajaran itu harus mampu melahirkan karya-karya inovatif dan kreatif dengan cara memanfaatkan model geostrategis yang dimiliki oleh negeri ini. Tentunya, kita tidak ingin potensi geostrategis yang dimiliki ini hanya menjadi ladang ‘bancakan’ negeri-negeri tetangga saja. Untuk bisa mengelolanya, tak ada jalan lain, pemerintah dan seluruh elemen anak negeri ini harus bersungguh-sungguh untuk lebih giat belajar serta melahirkan karya-karya inovatif untuk kemajuan bangsa. Semangat inilah yang harusnya digaungkan kembali di saat negeri ini merayakan Hari Pahlawan. Ketika generasi masa kini semakin giat belajar dan melahirkan karya-karya inovatif berbasis teknologi maka di sanalah semangat kepahlawanan itu bisa tumbuh. Ingatlah, tantangan masa kini dan masa yang akan datang bukan lagi ancaman perang secara fisik. Melainkan ancaman yang sesungguhnya adalah perang otak untuk bisa memanfaatkan semua potensi yang ada. Lantas, sudah siapkah kita untuk menyambutnya? Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga Alloh SWT Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melindungi bangsa dan Negara Indonesia. Aamin YRA. Wabillahi taufiq wal hidayah. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.